Langsung ke konten utama

Pengertian Asbab al-Nuzul



Asba>b al-nuzu>l ayat-ayat Alquran merupakan salah satu alat bantu untuk memahami dan menafsirkan Alquran secara benar dan komprehensif. Tanpa mengetahui asba>b al-nuzu>l suatu ayat dapat mengakibatkan salah tafsir dalam memahami maksud dan tujuan diturunkannya ayat-ayat Alquran. Begitu pentingnya mengetahui asba>b al-nuzu>l ayat-ayat Alquran, maka pemahaman terhadap makna dan maksud ayat-ayat yang diturunkan akan dapat menghilangkan perasaan sikap keragu-raguan dalam menafsirkannya.[1]
Asba>b al-nuzu>l mengandung arti peristiwa-peristiwa khusus yang terjadi di masa Rasulullah SAW., yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat Alquran, baik berupa jawaban, penegasan, ataupun teguran terhadap peristiwa tersebut.[2]
Ada tiga definisi yang dikemukakan oleh para ulama tafsir tentang asba>b al-nuzu>l[3]:
1.      Suatu peristiwa yang terjadi menjelang turunnya ayat. Sesuai dengan pendapat al-Zarqa>ni>:
ماَ نُزِلَتِ الْأَيَةُ اَوِ الْأَيَاتِ مُتَحَدِّثَةً عَنْهُ اَوْ مُبَيِّنَةً لِحُكْمِهِ اَيَّامَ وُقُوْعِهِ
Asba>b al-nuzu>l adalah diturunkannya suatu ayat atau beberapa ayat (Alquran) sebagai jawaban peristiwa (sebab) atau sebagai penegasan hukumnya yang terjadi dikala itu”.

2.      Peristiwa-peristiwa pada masa ayat Alquran itu diturunkan (yaitu dalam waktu 23 tahun), baik peristiwa itu terjadi sebelum atau sesudah ayat itu diturunkan.
3.      Peristiwa yang dicakup oleh suatu ayat, baik pada waktu 23 tahun itu maupun yang terjadi sebelum atau sesudahnya. Ini sesuai dengan definisi yang dikemukakan oleh S}ubh}i> S}a>lih} yang berbunyi:
ماَ نَزَلَتِ الْأَيَةُ اَوِ الْأَيَاتُ بِسَبَبِهِ مُتَضَمَّنَةً لَهُ اَوْ مُجِيْبَةً عَنْهُ اَوْ مُبَيِّنَةً لِحُكْمِهِ زَمَنَ وُقُوْعِهِ

“Sesuatu yang dengan sebabnya turun suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebab itu, atau memberi jawaban terhadap sebab itu, atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab tersebut”.

Pengertian ketiga ini memberikan indikasi bahwa sebab turunnya suatu ayat adakalanya berbentuk peristiwa dan adakalanya berbentuk pertanyaan. Suatu ayat atau beberapa ayat yang turun untuk menerangkan hal yang berhubungan dengan peristiwa tertentu atau memberi jawaban terhadap pertanyaan tersebut.
Maksud dari peristiwa di atas adalah kejadian yang terjadi di zaman Nabi Muhammad SAW., baik kejadian yang langsung dialami oleh beliau, keluarganya, ataupun para sahabatnya.[4]
Contoh peristiwa langsung yang dialami oleh Nabi  SAW., sendiri ialah seperti peristiwa yang berkenaan dengan Ibn Ummi Maktu>m yang tidak bisa melihat. Ia datang kepada Nabi SAW., untuk meminta petunjuk sambil berteriak, “Berilah petunjuk kepadaku, ya Rasulullah SAW”. Pada waktu itu Nabi Muhammad SAW., sedang serius menghadapi para pembesar kaum musyrikin Quraisy, sehingga beliau tidak menghiraukan tegur sapanya Ibn Ummi Maktu>m dan tetap menghadapi para pembesar Quraisy tersebut. Kemudian Ibn Ummi Maktu>m menyapa kembali, “Apakah yang saya katakan ini mengganggu tuan?” Rasulullah SAW., menjawab, “Tidak”. Maka turunlah ayat 1-10 dari surah ‘Abasa sebagai teguran kepada Rasulullah SAW.[5]
Peristiwa yang dialami keluarganya seperti kejadian H{adi>th al-Ifk yaitu cerita dusta dan fitnah yang menimpa Ummu al-Mukmini>n, ‘A<ishah. Pada suatu saat Rasulullah SAW., mengundi istri-istrinya untuk ikut serta ke medan perang, kebetulan Ummu al-Mukmini>n, ‘A<ishah, yang terundi. Ia kemudian naik ke atas tandu yang ditaruh di atas unta, seperti biasanya. Di perjalanan pulang seusai perang dan hampir mendekati kota Madinah, Rasulullah SAW., memberi izin untuk berhenti sebentar. ‘A<ishah pun turun untuk buang hajat. Ketika kembali, ia mendapati kalungnya tidak ada. Ia kembali ke tempat buang hajat untuk mencarinya. Para pemikul tandu langsung meletakkan tandu ‘A<ishah ke atas unta dan mereka mengira ‘A<ishah ada di dalamnya. Kesalahpahaman ini terjadi karena ‘A<ishah memiliki badan yang langsing, seolah-olah tidak ada bedanya tandu kosong atau berisi. Setelah menemukan kalungnya, ‘A<ishah bergegas menuju tempat peristirahatan, ternyata kabilah itu sudah pergi meninggalkannya. ‘Aisyah duduk di tempat semula dengan harapan mereka akan kembali untuk menjeputnya. Tanpa disadari, ‘A<ishah pun tertidur karena lamanya menunggu. Kebetulan S}afwan Ibn al-Mu’at}t}al yang tertinggal pasukan karena suatu halangan, tiba di tempat ‘A<ishah menunggu.[6]
Ketika S}afwan melihatnya, ia mengucapkan Inna> lilla>hi wa inna> ilaihi ra>ji’u>n. ‘A<ishah terbangun dan tidak bicara sepatah kata pun. S}afwan menyuruh untanya berlutut agar ‘A<ishah dapat naik ke atas unta tersebut. Ia menuntunnya sampai ke tempat pasukan yang sedang berteduh. Kejadian ini dimanfaatkan oleh orang-orang munafik yang diprakarsai oleh ‘Abdullah Ibn Ubay Ibn Salul untuk menyebarkan fitnah dan membuat ‘A<ishah menderita sakit. Berkenaan dengan peristiwa tersebut, Allah SWT., menurunkan ayat 11-20 dari surah al-Nu>r yang menegaskan tentang kesucian diri Ummu al-Mukmini>n, ‘A<ishah.[7]
Peristiwa yang dialami para sahabat dapat dilihat dalam cerita Mazi>z. Ia merupakan seorang pedagang yang membawa barang dagangannya dari Ambar ke Mekah. Pada suatu hari, ia bertemu dengan seorang wanita cantik bernama ‘Anaq (wanita penzina). Mazi>z meminta izin kepada Rasulullah SAW., untuk mengawininya, akan tetapi Nabi SAW., tidak langsung menjawabnya. Allah SWT., menurunkan ayat 3 dari surah al-Nu>r. Rasulullah SAW., pun bersabda, “Hai Mazi>z, seorang pezina tidak akan mengawini kecuali pezina lagi. Oleh karena itu, janganlah engkau menikah dengannya”.[8]
Dalam hal ini termasuk pendapat al-Wa>h}idi>,[9] yang menyatakan bahwa latar belakang turunnya surah al-Fi>l adalah kisah penyerbuan Ka’bah oleh Raja Habsyah (Abrahah).[10]
Menurut pendapat al-Suyu>t}i> sebagaimana dikutip oleh Dr. S}ubh}i> S}a>lih} dalam bukunya Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur’an,[11] beliau menjelaskan itu bukan sebab turunnya Surah tersebut. Surah al-Fi>l termasuk berita-berita tentang berbagai kejadian di masa lampau. Sama halnya dengan kisah Nabi Nu>h, kaum ‘Ad, kaum Tsamud, pembangunan Ka’bah dan lain sebagainya. Demikian pula tentang surah al-Nisa>’: 115 yang maknanya: Dan Allah SWT., telah mengangkat Ibra>hi>m sebagai khali>l (kesayangan-Nya). Al-Wa>h}idi> menyebut firman itu sebagai sebab pengangkatan Ibra>hi>m sebagai khali}lullah. Maka jelas, bukan itu sebab turunnya firman Allah SWT., tersebut.[12]
Berlebihan jika kita memperluas pengertiannya dengan memasukkan berita-berita tentang umat terdahulu dan peristiwa-peristiwa masa lalu. Al-Suyu>t}i> dan orang-orang yang konsen terhadap masalah asba>b al-nuzu>l mengatakan bahwa ayat itu tidak turun di saat terjadinya sebab. Ia menyatakan demikian itu karena hendak mengkritik apa yang dikatakan oleh al-Wa>h}idi> dalam menafsirkan surah al-Fi>l.[13]

Sebab turun ayat dalam bentuk peristiwa ini ada tiga macam, yaitu:
1.      Disebabkan peristiwa pertengkaran. Contoh peristiwa ini adalah perselisihan yang berkecamuk antara suku Aus dengan suku Khazraj. Perselisihan tersebut muncul dari intrik-intrik yang dihembuskan oleh kelompok Yahudi sehingga mereka berteriak, “senjata! senjata! (perang! perang!)”. Peristiwa tersebut menyebabkan turunnya ayat:

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman”. [14]

Ayat tersebut dilanjutkan sampai beberapa ayat sesudahnya. Hal ini merupakan cara terbaik untuk menjauhkan orang dari perselisihan dan merangsang orang untuk berkasih sayang satu dengan lainnya, memiliki rasa persaudaraan yang tinggi dan kekompakkan atau kesepakatan yang kuat.[15]
2.      Disebabkan peristiwa kesalahan yang serius. Contoh, seorang yang menjadi imam dalam salat dan orang tersebut dalam keadaan mabuk. Sehingga orang tersebut salah membaca surah al-Ka>firu>n. Dia membacanya dalam salat:

“Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, Aku akan menyembah apa yang kamu sembah”.
Imam tersebut tidak menggunakan kata لا ketika membaca لا أعبد. Peristiwa tersebut menyebabkan turunnya Surah al-Nisa>’: 42 yang melarang orang mengerjakan salat ketika mabuk. Ayat tersebut berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghampiri (mengerjakan) salat sedang kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan”.

3.      Disebabkan adanya cita-cita dan keinginan. Contoh, sejarah mencatat ada beberapa ucapan yang ingin diucapkan oleh ‘Umar al-Khat}t}a>b, tapi ia tidak berani, kemudian turun ayat misalnya yang diinginkan oleh ‘Umar, ayat 14 dalam surah al-Mukmini>n yang berbunyi:

فَتَبَارَكَ اللّٰهُ اَحْسَنُ الْخٰلِقِيْنَۗ

”Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik”.
Contoh lain adalah menjadikan maqam Ibra>hi>m sebagai tempat salat, ayat tersebut berbunyi:
Jika dilihat dari motivasinya, bentuk pertanyaan dapat dibagi menjadi dua yaitu,
1.      Pertanyaan itu datangnya dari kaum Muslimin. Mereka bertanya kepada Nabi SAW., karena ragu atau tidak tahu, sehingga mengharapkan penjelasan dari beliau. Misalnya mereka ragu dan tidak tahu mengenai jenis harta yang harus diinfaqkan, maka mereka bertanya kepada Rasulullah SAW., atas pertanyaan itu, turunlah ayat 219 dari surah al-Baqarah.

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ ەۗ قُلِ الْعَفْوَۗ

“Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan...."
2.      Pertanyaan itu datang dari orang-orang musyrikin Quraisy atau dari orang-orang ahli kitab. Mereka bertanya bukan karena ragu ataupun tidak tahu, akan tetapi hanya ingin menguji kenabian dan kerasulan Muh}ammad SAW. Mereka bertanya tentang ruh, tentang kapan terjadinya hari kiamat, dan yang sejenisnya.
Pertanyaan-pertanyaan ini apabila dikaitkan dengan waktu, akan terbagi ke dalam tiga kelompok, yaitu sebagai berikut.
1.         Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang telah lalu, seperti pertanyaan tentang Dhu> al-Qarnain.
2.         Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang terjadi saat itu, seperti pertanyaan tentang ruh.
3.         Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang belum terjadi, seperti pertanyaan mengenai hari kiamat.
Muhammad Syahrur dalam tulisannya sebagaimana dikutip oleh Abd. Ghaffar dalam bukunya mengatakan: “[P]erlakukanlah Alquran seolah-olah Nabi SAW., baru meninggal kemarin”. Statemen ini menunjukkan bahwa pemahaman terhadap konteks kesejarahan (asba>b al-nuzu>l), pada prinsipnya akan memberikan manfaat dalam penafsiran, terutama dalam hal memudahkan untuk mengidentifikasi fenomena-fenomena moral dan perilaku sosial masyarakat Arab di saat diturunkan Alquran. Juga dalam hal menghindari dari praktek-praktek pemaksaan pra-konsepsi dalam penafsiran.[16]
Menurut Abu Zayd, ilmu asba>b al-nuzu>l merupakan disiplin ilmu yang paling penting dalam menunjukkan hubungan dan dialektika antara teks dan realitas. Ilmu tentang asba>b al-nuzu>l memberi bekal kepada seorang mufasir mengenai materi teks yang merespon realitas, baik dengan cara menguatkan ataupun menolak, dan menegaskan hubungan yang dialogis dan dialektis antara teks dan realitas. Oleh karena itu, kesadaran akan pentingnya konteks sejarah dalam memahami ayat-ayat Alquran dalam ilmu tafsir Alquran sangat dikenal dalam disiplin kajian asba>b al-nuzu>l. Di mana isi dari kajian ini adalah menelaah latar belakang diturunkannya ayat-ayat Alquran kepada Nabi SAW.[17]
Di samping bertujuan untuk mengetahui latar belakang turunnya ayat Alquran, disiplin kajian ini pada akhirnya juga sangat membantu dalam melacak makna dan spirit (semangat) dari suatu ayat, di mana hal ini tentunya sangat berguna dalam upaya kontekstualisasi ayat untuk waktu dan tempat yang berbeda.[18]



[1] Abd. Ghaffar, T{aghut Modern dalam Perspektif Hermeneutika Alquran, 127.
[2] Muhammad Zainuddin, Metode Memahami Alquran (Bandung: Khazanah Intelektual, 2005), 50.
[3] Abu Anwar, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, 29.
[4] Muhammad Zainuddin, Metode Memahami Alquran, 51.
[5] Ibid., 51.
[6] Ibid., 51.
[7] Ibid., 51-52.
[8] Ibid., 52.
[9] Nama lengkapnya adalah Abi> al-H{asan ‘Ali> ibn Ah}mad ibn Muh}ammad ibn ‘Ali> al-Wa>h}idi>. Beliau lahir pada tahun antara 388-398, dan wafat pada bulan Jumadil Akhir tahun 468 H. Lihat Abi> al-Hasan ‘Ali> ibn Ah}mad ibn Muh}ammad ibn ‘Ali> al-Wa>h}idi>, Asba>b al-Nuzu>l al-Qur’a>n, 13-15.
[10] Abu Anwar, ‘Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, 29-30.
[11] Pendapat al-Suyu>t}i> tersebut juga dikutip oleh Manna>’ al-Qat}t}a>n di dalam bukunya Pengantar Studi Ilmu Alquran, halaman 95.
[12] S}ubh}i> S}a>lih}, Membahas Ilmu-Ilmu Alquran (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), 173.
[13] Manna>’ al-Qat}t}a>n, Pengantar Studi Ilmu Alquran, 95.
[14] Q.S. ‘Ali Imra>n (3) : 100. Lihat Lajnah Pentashih Mushaf Alquran Departemen Agama Republik Indonesia, Alquranul Karim dan Terjemahan Edisi Keluarga, 62.
[15] Abu Anwar, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, 30.
[16] Abu. Ghaffar, T{a>ghut Modern dalam Perspektif Hermeneutika Alquran, 127-128.  
[17] Ibid., 128.
[18] Ibid., 128.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM SHOLAT DI BELAKANG SHAF YANG ADA CELAH MENURUT 4 IMAM

  Menurut mazhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i, Sholat di belakang shaf yang ada renggang atau celah hal ini makruh menurut kesepakatan para imam mazhab, tidak termasuk Imam Hambali. Sedangkan menurut mazhab Hambali : Jika seseorang sholat di belakang shaf yang ada renggang atau celah, jika dia sendirian maka batal sholatnya. Tapi, jika bersama lainnya, maka makruh sholatnya. Diterjemahkan dari Kitab al-Fiqh 'ala Mazahib al-Arba'ah Karya 'Abdurrahman al-Jaziriy Jilid 1 Halaman 253

Pondok Pesantren Daarul Aula Kembali Membuka Gelombang Pendaftaran

Alhamdulillah Pondok Pesantren Daarul Aula kembali membuka Penerimaan Santri Baru Tahun Ajaran 2022/2023 untuk Gelombang II, mulai tanggal 16 Mei s/d 30 Juni 2022. Bagi Bapak/Ibu/Saudara/Saudari/Sahabat yang berminat mendaftarkan putra putri nya bisa mengikuti petunjuk pendaftaran di bawah ini 👇👇👇 PENDAFTARAN SANTRI BARU PONDOK PESANTREN DAARUL AULA SINGKUT TAHUN PELAJARAN 2022-2023 M/ 1443-1444 H السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرْكَاتُهُ Bapak/Ibu calon wali santri PP. Daarul Aula, mudah-mudahan selalu dirahmati oleh Allah Ta'ala.    Kami Panitia Penerimaan Santri Baru Pondok Pesantren DAARUL AULA Singkut memberitahukan bahwa pendaftaran bisa dilakukan dengan 3 (tiga) cara, yaitu ; 1. Pendaftaran dengan cara datang langsung ke Kantor atau Sekretariat Penerimaan Santri Baru di Pondok Pesantren Daarul Aula. 2. Pendaftaran dilakukan dengan cara DARING (ONLINE) bisa melalui Hp Android dan Laptop dengan cara mengisi formulir pendaftaran (klik tautan di bawah ini) ;...

SHALAT NAWAFIL MENURUT MADZHAB SYAFI'IYYAH

SHALAT-SHALAT NAWAFIL MENURUT MADZHAB SYAFI'IYYAH (Fiqih Islam wa Adillatuhu, Juz 2, Halaman 216-217) Shalat Nawafil menurut Syafi'iyyah terbagi menjadi dua; nawafil yang disunnahkan untuk dilakukan dengan berjamaah, dan nawafil yang tidak disunnahkan berjamaah: 1. SHALAT NAFILAH YANG DISUNNAHKAN UNTUK BERJAMAAH ADA TUJUH SHALAT: Shalat hari raya ldul Fitri dan Idul Adha, shalat gerhana matahari dan gerhana bulan, shalat istisqa', dan shalat tarawih. Sayyidah Aisyah berkata, "Rasulullah saw. mendirikan shalat tarawih pada malam hari dan para sahabat mengikuti beliau. Malam berikutnya Rasul tidak ke masjid dan melakukan shalatnya di rumah sampai akhir bulan Ramadhan. Ketika ditanyakan mengenai hal itu beliau menjawab, Aku takut shalat ini diwajibkan atas kalian hingga melemahkan kalian."' Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban meriwayatkan dari Iabir, ia berkata, "Kami shalat bersama Rasulullah saw. pada bulan Ramadhan sebanyak delapan rakaat, dan dis...