Langsung ke konten utama

Pentingnya Ilmu Asbabun Nuzul Dalam Memahami Isi Al-Qur'an




A.      Definisi Asba>b al-Nuzu>l
Asba>b al-nuzu>l ayat-ayat Alquran merupakan salah satu alat bantu untuk memahami dan menafsirkan Alquran secara benar dan komprehensif. Tanpa mengetahui asba>b al-nuzu>l suatu ayat dapat mengakibatkan salah tafsir dalam memahami maksud dan tujuan diturunkannya ayat-ayat Alquran. Begitu pentingnya mengetahui asba>b al-nuzu>l ayat-ayat Alquran, maka pemahaman terhadap makna dan maksud ayat-ayat yang diturunkan akan dapat menghilangkan perasaan sikap keragu-raguan dalam menafsirkannya.[1]
Asba>b al-nuzu>l mengandung arti peristiwa-peristiwa khusus yang terjadi di masa Rasulullah SAW., yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat Alquran, baik berupa jawaban, penegasan, ataupun teguran terhadap peristiwa tersebut.[2]
Ada tiga definisi yang dikemukakan oleh para ulama tafsir tentang asba>b al-nuzu>l[3]:
1.      Suatu peristiwa yang terjadi menjelang turunnya ayat. Sesuai dengan pendapat al-Zarqa>ni>:
ماَ نُزِلَتِ الْأَيَةُ اَوِ الْأَيَاتِ مُتَحَدِّثَةً عَنْهُ اَوْ مُبَيِّنَةً لِحُكْمِهِ اَيَّامَ وُقُوْعِهِ
Asba>b al-nuzu>l adalah diturunkannya suatu ayat atau beberapa ayat (Alquran) sebagai jawaban peristiwa (sebab) atau sebagai penegasan hukumnya yang terjadi dikala itu”.

2.      Peristiwa-peristiwa pada masa ayat Alquran itu diturunkan (yaitu dalam waktu 23 tahun), baik peristiwa itu terjadi sebelum atau sesudah ayat itu diturunkan.
3.      Peristiwa yang dicakup oleh suatu ayat, baik pada waktu 23 tahun itu maupun yang terjadi sebelum atau sesudahnya. Ini sesuai dengan definisi yang dikemukakan oleh S}ubh}i> S}a>lih} yang berbunyi:
ماَ نَزَلَتِ الْأَيَةُ اَوِ الْأَيَاتُ بِسَبَبِهِ مُتَضَمَّنَةً لَهُ اَوْ مُجِيْبَةً عَنْهُ اَوْ مُبَيِّنَةً لِحُكْمِهِ زَمَنَ وُقُوْعِهِ

“Sesuatu yang dengan sebabnya turun suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebab itu, atau memberi jawaban terhadap sebab itu, atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab tersebut”.

Pengertian ketiga ini memberikan indikasi bahwa sebab turunnya suatu ayat adakalanya berbentuk peristiwa dan adakalanya berbentuk pertanyaan. Suatu ayat atau beberapa ayat yang turun untuk menerangkan hal yang berhubungan dengan peristiwa tertentu atau memberi jawaban terhadap pertanyaan tersebut.
Maksud dari peristiwa di atas adalah kejadian yang terjadi di zaman Nabi Muhammad SAW., baik kejadian yang langsung dialami oleh beliau, keluarganya, ataupun para sahabatnya.[4]
Contoh peristiwa langsung yang dialami oleh Nabi  SAW., sendiri ialah seperti peristiwa yang berkenaan dengan Ibn Ummi Maktu>m yang tidak bisa melihat. Ia datang kepada Nabi SAW., untuk meminta petunjuk sambil berteriak, “Berilah petunjuk kepadaku, ya Rasulullah SAW”. Pada waktu itu Nabi Muhammad SAW., sedang serius menghadapi para pembesar kaum musyrikin Quraisy, sehingga beliau tidak menghiraukan tegur sapanya Ibn Ummi Maktu>m dan tetap menghadapi para pembesar Quraisy tersebut. Kemudian Ibn Ummi Maktu>m menyapa kembali, “Apakah yang saya katakan ini mengganggu tuan?” Rasulullah SAW., menjawab, “Tidak”. Maka turunlah ayat 1-10 dari surah ‘Abasa sebagai teguran kepada Rasulullah SAW.[5]
Peristiwa yang dialami keluarganya seperti kejadian H{adi>th al-Ifk yaitu cerita dusta dan fitnah yang menimpa Ummu al-Mukmini>n, ‘A<ishah. Pada suatu saat Rasulullah SAW., mengundi istri-istrinya untuk ikut serta ke medan perang, kebetulan Ummu al-Mukmini>n, ‘A<ishah, yang terundi. Ia kemudian naik ke atas tandu yang ditaruh di atas unta, seperti biasanya. Di perjalanan pulang seusai perang dan hampir mendekati kota Madinah, Rasulullah SAW., memberi izin untuk berhenti sebentar. ‘A<ishah pun turun untuk buang hajat. Ketika kembali, ia mendapati kalungnya tidak ada. Ia kembali ke tempat buang hajat untuk mencarinya. Para pemikul tandu langsung meletakkan tandu ‘A<ishah ke atas unta dan mereka mengira ‘A<ishah ada di dalamnya. Kesalahpahaman ini terjadi karena ‘A<ishah memiliki badan yang langsing, seolah-olah tidak ada bedanya tandu kosong atau berisi. Setelah menemukan kalungnya, ‘A<ishah bergegas menuju tempat peristirahatan, ternyata kabilah itu sudah pergi meninggalkannya. ‘Aisyah duduk di tempat semula dengan harapan mereka akan kembali untuk menjeputnya. Tanpa disadari, ‘A<ishah pun tertidur karena lamanya menunggu. Kebetulan S}afwan Ibn al-Mu’at}t}al yang tertinggal pasukan karena suatu halangan, tiba di tempat ‘A<ishah menunggu.[6]
Ketika S}afwan melihatnya, ia mengucapkan Inna> lilla>hi wa inna> ilaihi ra>ji’u>n. ‘A<ishah terbangun dan tidak bicara sepatah kata pun. S}afwan menyuruh untanya berlutut agar ‘A<ishah dapat naik ke atas unta tersebut. Ia menuntunnya sampai ke tempat pasukan yang sedang berteduh. Kejadian ini dimanfaatkan oleh orang-orang munafik yang diprakarsai oleh ‘Abdullah Ibn Ubay Ibn Salul untuk menyebarkan fitnah dan membuat ‘A<ishah menderita sakit. Berkenaan dengan peristiwa tersebut, Allah SWT., menurunkan ayat 11-20 dari surah al-Nu>r yang menegaskan tentang kesucian diri Ummu al-Mukmini>n, ‘A<ishah.[7]
Peristiwa yang dialami para sahabat dapat dilihat dalam cerita Mazi>z. Ia merupakan seorang pedagang yang membawa barang dagangannya dari Ambar ke Mekah. Pada suatu hari, ia bertemu dengan seorang wanita cantik bernama ‘Anaq (wanita penzina). Mazi>z meminta izin kepada Rasulullah SAW., untuk mengawininya, akan tetapi Nabi SAW., tidak langsung menjawabnya. Allah SWT., menurunkan ayat 3 dari surah al-Nu>r. Rasulullah SAW., pun bersabda, “Hai Mazi>z, seorang pezina tidak akan mengawini kecuali pezina lagi. Oleh karena itu, janganlah engkau menikah dengannya”.[8]
Dalam hal ini termasuk pendapat al-Wa>h}idi>,[9] yang menyatakan bahwa latar belakang turunnya surah al-Fi>l adalah kisah penyerbuan Ka’bah oleh Raja Habsyah (Abrahah).[10]
Menurut pendapat al-Suyu>t}i> sebagaimana dikutip oleh Dr. S}ubh}i> S}a>lih} dalam bukunya Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur’an,[11] beliau menjelaskan itu bukan sebab turunnya Surah tersebut. Surah al-Fi>l termasuk berita-berita tentang berbagai kejadian di masa lampau. Sama halnya dengan kisah Nabi Nu>h, kaum ‘Ad, kaum Tsamud, pembangunan Ka’bah dan lain sebagainya. Demikian pula tentang surah al-Nisa>’: 115 yang maknanya: Dan Allah SWT., telah mengangkat Ibra>hi>m sebagai khali>l (kesayangan-Nya). Al-Wa>h}idi> menyebut firman itu sebagai sebab pengangkatan Ibra>hi>m sebagai khali}lullah. Maka jelas, bukan itu sebab turunnya firman Allah SWT., tersebut.[12]
Berlebihan jika kita memperluas pengertiannya dengan memasukkan berita-berita tentang umat terdahulu dan peristiwa-peristiwa masa lalu. Al-Suyu>t}i> dan orang-orang yang konsen terhadap masalah asba>b al-nuzu>l mengatakan bahwa ayat itu tidak turun di saat terjadinya sebab. Ia menyatakan demikian itu karena hendak mengkritik apa yang dikatakan oleh al-Wa>h}idi> dalam menafsirkan surah al-Fi>l.[13]

Sebab turun ayat dalam bentuk peristiwa ini ada tiga macam, yaitu:
1.      Disebabkan peristiwa pertengkaran. Contoh peristiwa ini adalah perselisihan yang berkecamuk antara suku Aus dengan suku Khazraj. Perselisihan tersebut muncul dari intrik-intrik yang dihembuskan oleh kelompok Yahudi sehingga mereka berteriak, “senjata! senjata! (perang! perang!)”. Peristiwa tersebut menyebabkan turunnya ayat:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä bÎ) (#qãèÏÜè? $Z)ƒÌsù z`ÏiB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# Nä.rŠãtƒ y÷èt/ öNä3ÏZ»oÿÎ) tûï̍Ïÿ»x.

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman”. [14]

Ayat tersebut dilanjutkan sampai beberapa ayat sesudahnya. Hal ini merupakan cara terbaik untuk menjauhkan orang dari perselisihan dan merangsang orang untuk berkasih sayang satu dengan lainnya, memiliki rasa persaudaraan yang tinggi dan kekompakkan atau kesepakatan yang kuat.[15]
2.      Disebabkan peristiwa kesalahan yang serius. Contoh, seorang yang menjadi imam dalam salat dan orang tersebut dalam keadaan mabuk. Sehingga orang tersebut salah membaca surah al-Ka>firu>n. Dia membacanya dalam salat:
ö@è% $pkšr'¯»tƒ šcrãÏÿ»x6ø9$# . ßç6ôãr& $tB tbrßç7÷ès?  

“Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, Aku akan menyembah apa yang kamu sembah”.
Imam tersebut tidak menggunakan kata لا ketika membaca لا أعبد. Peristiwa tersebut menyebabkan turunnya Surah al-Nisa>’: 42 yang melarang orang mengerjakan salat ketika mabuk. Ayat tersebut berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghampiri (mengerjakan) salat sedang kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan”.

3.      Disebabkan adanya cita-cita dan keinginan. Contoh, sejarah mencatat ada beberapa ucapan yang ingin diucapkan oleh ‘Umar al-Khat}t}a>b, tapi ia tidak berani, kemudian turun ayat misalnya yang diinginkan oleh ‘Umar, ayat 14 dalam surah al-Mukmini>n yang berbunyi:
x8u$t7tFsù ª!$# ß`|¡ômr& tûüÉ)Î=»sƒø:$#  
”Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik”.
Contoh lain adalah menjadikan maqam Ibra>hi>m sebagai tempat salat, ayat tersebut berbunyi:
Jika dilihat dari motivasinya, bentuk pertanyaan dapat dibagi menjadi dua yaitu,
1.      Pertanyaan itu datangnya dari kaum Muslimin. Mereka bertanya kepada Nabi SAW., karena ragu atau tidak tahu, sehingga mengharapkan penjelasan dari beliau. Misalnya mereka ragu dan tidak tahu mengenai jenis harta yang harus diinfaqkan, maka mereka bertanya kepada Rasulullah SAW., atas pertanyaan itu, turunlah ayat 219 dari surah al-Baqarah.
štRqè=t«ó¡our #sŒ$tB tbqà)ÏÿZムÈ@è% uqøÿyèø9$# 3 ....
“Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan...."
2.      Pertanyaan itu datang dari orang-orang musyrikin Quraisy atau dari orang-orang ahli kitab. Mereka bertanya bukan karena ragu ataupun tidak tahu, akan tetapi hanya ingin menguji kenabian dan kerasulan Muh}ammad SAW. Mereka bertanya tentang ruh, tentang kapan terjadinya hari kiamat, dan yang sejenisnya.
Pertanyaan-pertanyaan ini apabila dikaitkan dengan waktu, akan terbagi ke dalam tiga kelompok, yaitu sebagai berikut.
1.         Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang telah lalu, seperti pertanyaan tentang Dhu> al-Qarnain.
2.         Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang terjadi saat itu, seperti pertanyaan tentang ruh.
3.         Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang belum terjadi, seperti pertanyaan mengenai hari kiamat.
Muhammad Syahrur dalam tulisannya sebagaimana dikutip oleh Abd. Ghaffar dalam bukunya mengatakan: “[P]erlakukanlah Alquran seolah-olah Nabi SAW., baru meninggal kemarin”. Statemen ini menunjukkan bahwa pemahaman terhadap konteks kesejarahan (asba>b al-nuzu>l), pada prinsipnya akan memberikan manfaat dalam penafsiran, terutama dalam hal memudahkan untuk mengidentifikasi fenomena-fenomena moral dan perilaku sosial masyarakat Arab di saat diturunkan Alquran. Juga dalam hal menghindari dari praktek-praktek pemaksaan pra-konsepsi dalam penafsiran.[16]
Menurut Abu Zayd, ilmu asba>b al-nuzu>l merupakan disiplin ilmu yang paling penting dalam menunjukkan hubungan dan dialektika antara teks dan realitas. Ilmu tentang asba>b al-nuzu>l memberi bekal kepada seorang mufasir mengenai materi teks yang merespon realitas, baik dengan cara menguatkan ataupun menolak, dan menegaskan hubungan yang dialogis dan dialektis antara teks dan realitas. Oleh karena itu, kesadaran akan pentingnya konteks sejarah dalam memahami ayat-ayat Alquran dalam ilmu tafsir Alquran sangat dikenal dalam disiplin kajian asba>b al-nuzu>l. Di mana isi dari kajian ini adalah menelaah latar belakang diturunkannya ayat-ayat Alquran kepada Nabi SAW.[17]
Di samping bertujuan untuk mengetahui latar belakang turunnya ayat Alquran, disiplin kajian ini pada akhirnya juga sangat membantu dalam melacak makna dan spirit (semangat) dari suatu ayat, di mana hal ini tentunya sangat berguna dalam upaya kontekstualisasi ayat untuk waktu dan tempat yang berbeda.[18]
B.       Pedoman Mengetahui Asba>b al-Nuzu>l
Untuk mengetahui asba>b al-nuzu>l secara sahih, para ulama berpegang kepada riwayat sahih yang berasal dari Rasulullah SAW atau dari sahabat. Sebab, pemberitaan seorang sahabat mengenai hal ini, bila jelas, berarti bukan pendapatnya, tetapi ia mempunyai hukum marfu>’.[19]
Oleh sebab itu, mayoritas ulama berpendapat bahwa setiap asba>b al-nuzu>l yang diterima dari kalangan para sahabat wajib diterima, selama tidak ada riwayat yang lebih kuat yang melemahkannya. Oleh karena itu, al-Wa>h}idi> mengatakan,
لاَ يَحِلُّ الْقَوْلُ فيِ اَسْبَابِ النُّزُوْلِ إِلاَّ بِالرِّوَايَةِ وَ السِّمَاعِ مِمَّنْ شَاهَدُوْا التَّنْزِيْلَ وَ وَقَفُوْ عَلىَ الْأَسْبَابِ وَ بَحَثُوْا عَنْ عِلْمِهِ.

“Tidak dibenarkan membacakan sebab-sebab turunnya Alquran, kecuali melalui periwayatan dan mendengar dari orang-orang yang menyaksikan turunnya dan membahas pengertiannya”.[20]

Menurut al-Wa>h}idi>, “[T]idak diperbolehkan ‘main akal-akalan’ dalam asba>b al-nuzu>l Alquran, kecuali berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang pengertiannya serta bersungguh-sungguh dalam mencarinya.[21]
Menurut M. Quraish Shihab, satu hal yang perlu digarisbawahi dan merupakan salah satu kaidah tafsir adalah: Asba>b al-nuzu>l haruslah berdasar riwayat yang sahih. Tidak ada peranan akal dalam menetapkannya”. Peranan akal dalam bidang ini hanya dalam mentarjih} riwayat-riwayat yang ada. Shaikh Muh}ammad ‘Abduh dikritik oleh banyak ulama karena beliau berpendapat bahwa al-Fa>tih}ah adalah wahyu pertama yang diterima Nabi SAW., mendahului Iqra’ Bismi Rabbika. Alasan yang dikemukannya adalah argumen logika bersama satu riwayat yang lemah. Riwayat yang dikemukannya itu bertentangan dengan aneka riwayat yang kuat sehingga secara otomatis gugur, sedang argumentasinya, walau sepintas terbaca logis, tetapi karena asba>b al-nuzu>l tidak dapat ditetapkan berdasar logika, maka alasan ulama pembaharu itu pun gugur demi kaidah ini.[22]
Inilah metodologi ulama salaf. Mereka amat berhati-hati mengatakan sesuatu mengenai asba>b al-nuzu>l, tanpa pengetahuan yang jelas. Muh}ammad bin Siri>n mengatakan, “[K]etika kutanyakan kepada ‘Ubaidah mengenai satu ayat Alquran, dia menjawab; Bertakwalah kepada Allah SWT., dan berkatalah benar. Orang-orang yang mengetahui mengenai apa Alquran itu diturunkan telah meninggal semua”.[23]
Maksudnya, para sahabat. Apabila seorang tokoh ulama semacam Ibnu Siri>n, yang termasuk pemuka tabi’in terkemuka sudah demikian berhati-hati dalam meriwayatkan dan cermat dalam menukil, maka hal itu menunjukkan bahwa kita harus benar-benar mengetahui asba>b al-nuzu>l. Oleh karena itu, yang dapat dijadikan pegangan dalam asba>b al-nuzu>l adalah riwayat-riwayat dari sahabat yang bersanad dan secara pasti menunjukkan asba>b al-nuzu>l. Kata al-Suyu>t}i>, bila ucapan seorang tabi’in itu benar menunjukkan asba>b al-nuzu>l, maka ucapan itu dapat diterima dan mempunyai kedudukan mursal[24] bila penyandaran kepada tabi’in itu benar dan termasuk salah seorang imam tafsir yang mengambil ilmunya dari para sahabat, seperti Muja>hid, Ikrimah, dan Sa’i>d bin Jubair, serta didukung oleh hadis mursal yang lain.[25]
Dengan diterimanya hadis dari seorang sahabat Nabi SAW., yang mengalami masa turunnya ayat-ayat Alquran, dan dengan diterimanya hadis seorang tabi’in yang diambilnya dari seorang sahabat Nabi SAW., dapat dimengerti bahwa tujuan menetapkan persyaratan tertentu ialah agar suatu hadis dapat dipandang sahih, sehingga memperoleh kepastian, bahwa hadis tersebut benar-benar bersumber pada seorang sahabat Nabi SAW., yang menyaksikan, mengalami atau mendengar sendiri peristiwa yang berkaitan dengan turunnya suatu ayat atau menyaksikan, mengalami dan mendengar sendiri pertanyaan yang menjadi sebab turunnya Alquran.[26]
Barangkali upaya memperoleh kepastian tentang benarnya kejadian-kejadian itulah yang mendorong para ulama ahli hadis membatasi cara memperoleh pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya ayat Alquran pada riwayat-riwayat yang benar (hadis-hadis sahih). Dalam hal itu mereka menolak setiap upaya perorangan yang mengemukakan pendapat atau ijtihad mengenai soal tersebut. Itulah yang dimaksud al-Wa>h}idi> dengan kata-kata, “Mengenai asba>b al-nuzu>l tidak boleh orang mengatakan sesuatu selain riwayat atau berita hadis yang didengar dari mereka yang mengalami masa turunnya ayat-ayat Alquran, memperhatikan sebab-sebabnya dan berusaha keras mencari pengertiannya”.[27]
Dalam ilmu hadis, al-H{a>kim menegaskan bahwa apabila seorang sahabat menyaksikan masa wahyu dan Alquran diturunkan, kemudian meriwayatkan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan suatu peristiwa, hadis itu dipandang sebagai hadis musnad yang periwayatannya bersambung dari mulai penulis sampai kepada sahabat dan Nabi SAW. Dengan demikian, setiap asba>b al-nuzu>l yang diriwayatkan oleh seorang sahabat dapat diterima, sekalipun tidak dikuatkan oleh riwayat lain.[28]
Al-Wa>h}idi> mengkritik ulama-ulama zamannya atas kecerobohan mereka terhadap riwayat asba>b al-nuzu>l. Bahkan ia menuduh mereka pendusta dan mengingatkan mereka akan ancaman berat, dengan mengatakan, “Sekarang setiap orang suka mengada-ada dan berbuat dusta, ia menempatkan kedudukannya dalam kebodohan, tanpa memikirkan ancaman berat bagi orang yang tidak mengetahui sebab turunnya ayat”.[29] 
C.      Redaksi Asba>b al-Nuzu>l
Bentuk redaksi yang menerangkan asba>b al-nuzu>l itu terkadang berupa penyataan tegas, jelas mengenai sebab, dan terkadang berupa penyataan yang mengandung kemungkinan. Seperti,
سَبَبُ نُزُوْلِ الْأَيَةِ فيِ كَذَا
Secara definitif, ungkapan ini menunjukkan asba>b al-nuzu>l dengan nash yang s}arih} (tegas) dan tidak mengandung makna lain.[30]
Bentuk pertama ialah jika perawi mengatakan, “asba>b al-nuzu>l ayat ini adalah begini” atau menggunakan fa’ ta’qibiyah (kira-kira seperti “maka,” yang menunjukkan urutan peristiwa) yang dirangkaikan dengan kata “turunlah ayat,” sesudah ia menyebutkan peristiwa atau pertanyaan. Seperti pada bagian kalimat:
حَدَثَ كَذَا .... اَوْ سُئِلَ النَّبِيُّ (ص) عَنْ كَذَا فَنَزَلَتْ ....
Ungkapan seperti ini merupakan nas} yang s}arih} dan menunjukkan bahwa peristiwa itu menjadi sebab turunnya ayat tersebut.[31]
Misalnya ia mengatakan, “Telah terjadi peristiwa begini,” atau Rasulullah SAW., ditanya tentang hal begini, maka turunlah ayat ini”. Dengan demikian, kedua bentuk di atas merupakan pernyataan yang jelas tentang sebab.[32]
M. Quraish Shihab di dalam bukunya Kaidah Tafsir menjelaskan, “[B]ahwa jika perawinya menyebut satu peristiwa, kemudian dia menyatakan: (فَنَزَلَتْ الْأَيَةُ) atau menegaskan bahwa, “Ayat ini turun disebabkan oleh ini”, yakni menyebut peristiwa tertentu, maka itu berarti ayat tersebut turun semasa/berbarengan dengan peristiwa yang disampaikan”.[33]
Bentuk kedua yaitu redaksi yang boleh jadi menerangkan asba>b al-nuzu>l atau hanya sekedar menjelaskan kandungan hukum ayat ialah jika misalnya perawi menyatakan, “Ayat ini turun mengenai ini”, yang dimaksud dengan ungkapan seperti ini, bisa jadi tentang asba>b al-nuzu>l ayat dan mungkin juga tentang kandungan hukum ayat tersebut.[34] Seperti kata-kata,
نَزَلَتْ هَذِهِ الْأَيَةُ فيِ كَذَا ....
Ungkapan tersebut terkadang dimaknai oleh perawi sebagai sebab turun namun terkadang yang dimaksud adalah untuk menyatakan hukum yang terkandung dalam suatu ayat.[35]
Demikian juga jika ia mengatakan, “Aku mengira ayat ini turun mengenai soal begini” atau “Aku tidak mengira ayat ini turun kecuali mengenai hal begini”. Dengan bentuk redaksi demikian ini, perawi tidak memastikan asba>b al-nuzu>l. Kedua bentuk redaksi tersebut mungkin menyebutkan asba>b al-nuzu>l dan mungkin pula menunjukkan hal lain.[36]
Tetapi kalau redaksinya menyatakan: nazalat al-ayat fi...(نَزَلَتْ الْأَيَةُ فِيْ) yang menegaskan bahwa, “Ayat ini turun menyangkut...”, baru kemudian menyebut peristiwa, maka itu berarti bahwa kandungan ayat itu mencangkup peristiwa itu.[37]
Contoh pertama ialah apa yang diriwayatkan bersumber dari Ibnu ‘Umar, katanya, “Ayat yang berbunyi: ‘Istri-istri kamu adalah ibarat tanah tempat kamu bercocok tanam,’ (al-Baqarah: 223) turun terkait dengan masalah menggauli istri dari belakang”. Redaksi riwayat dari Ibnu ‘Umar ini tidak dengan tegas menunjukkan asba>b al-nuzu>l. Sementara itu terdapat riwayat yang secara tegas menyebutkan asba>b al-nuzu>l yang bertentangan dengan riwayat tersebut. Melalui Ja>bir katanya, “Orang Yahudi berkata, jika seorang laki-laki mendatangi istrinya dari belakang, maka anaknya akan bermata juling. Maka turunlah ayat; (Istri-istrimu adalah ibarat tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu hendaki)”, maka riwayat Ja>bir inilah yang dijadikan pegangan, karena ucapannya merupakan pernyataan tegas tentang asba>b al-nuzu>l. Sedang ucapan Ibnu ‘Umar tidak demikian, karena itu ia dipandang sebagai kesimpulan atau penafsiran.[38]
Contoh kedua ialah apa yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Zubair, bahwa Zubair mengajukan gugatan kepada seorang laki-laki dari kaum Anshar yang pernah ikut dalam perang Badar di hadapan Rasulullah SAW., tentang saluran air yang mengalir dari tempat yang tinggi. Keduanya mengairi kebun korma masing-masing dari tempat yang sama. Orang Anshar berkata,” Biarkan airnya mengalir”. Tetapi Zubair menolak. Maka kata Rasulullah SAW., “Airi kebunmu itu wahai Zubair, kemudian biarkan air itu mengalir ke kebun tetanggamu”. Orang Anshar itu marah, katanya, “Wahai Rasulullah SAW., apa sudah waktunya anak bibimu itu berbuat demikian?” wajah Rasulullah SAW., menjadi merah. Kemudian beliau berkata, “Airi kebunmu wahai Zubair, kemudian tahanlah air itu hingga memenuhi pematang. Lalu, biarkan ia mengalir ke kebun tetanggamu”.[39]
Rasulullah SAW., dengan keputusan ini telah memenuhi hak Zubair, padahal sebelum itu beliau mengisyaratkan keputusan yang memberikan kelonggaran kepadanya dan kepada orang Anshar itu. Ketika Rasulullah SAW., marah kepada orang Anshar, ia memenuhi hak Zubair secara nyata. Maka kata Zubair secara nyata, “Aku tidak mengira ayat berikut ini turun kecuali mengenai urusan tersebut; ‘Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan”.[40]
Ibnu Taimiyah mengatakan, “[U]capan mereka bahwa ayat ini turun mengenai urusan ini, terkadang dimaksudkan bahwa urusan itu termasuk ke dalam cakupan ayat walaupun tidak ada asba>b al-nuzu>lnya”. Para ulama berselisih pendapat mengenai ucapan sahabat. Ayat ini turun mengenai urusan ini, apakah ucapan seperti ini berlaku sebagai hadis musnad seperti kalau dia menyebutkan sesuatu sebab yang karenanya ayat diturunkan ataukah berlaku sebagai tafsir dari sahabat itu sendiri, bukan musnad. Bukhari memasukkan ke dalam kategori hadis musnad, sedang yang lain tidak memasukkannya. Sebagian besar hadis musnad itu menurut istilah atau pengertian ini, seperti Musnad Ah}mad dan lain-lain. Berbeda halnya bila sahabat menyebutkan sesuatu sebab yang sesudahnya diturunkan ayat. Bila demikian, maka mereka semua memasukkan penyataan seperti ini ke dalam hadis musnad.[41]
Al-Zarkashi> dalam al-Burha>n sebagaimana dikutip oleh Manna>’ al-Qat}t}a>n menyebutkan, “[T]elah maklum dari kebiasaan para sahabat dan tabi’in bahwa apabila salah seorang dari mereka berkata; Ayat ini turun mengenai urusan ini, maka yang dimaksud ialah ayat itu mengandung hukum urusan ini, bukan urusan ini yang menjadi sebab penurunan ayat. Pendapat sahabat ini termasuk ke dalam jenis penyimpulan hukum dengan ayat, bukan jenis pemberitaan (penukilan) mengenai sesuatu kenyataan yang terjadi”.[42]
D.      Manfaat mengetahui Asba>b al-Nuzu>l
Sebagian orang ada yang beranggapan bahwa ilmu asba>b al-nuzu>l tidak ada gunanya dan tidak ada pengaruhnya karena pembahasannya hanyalah berkisar pada lapangan sejarah dan berita. Menurut anggapan mereka, ilmu asba>b al-nuzu>l tidak mempermudah bagi orang yang hendak berkecimpung dalam menafsirkan Alquran. Anggapan tersebut adalah salah dan tidak patut didengar karena tidak berdasarkan pendapat para ahli tafsir.[43]
Menurut sebagian ulama ada beberapa manfaat mengetahui dan memahami asba>b al-nuzu>l. Di antara ulama yang berpendapat seperti itu adalah:
1.      Ibnu al-Daqiq (w. 702 H)
Ibnu al-Daqiq menyatakan bahwa mengetahui asba>b al-nuzu>l ayat merupakan metode yang utama dalam memahami pesan yang terkandung dalam Alquran.
2.      Ibnu Taimiyah (w. 726 H)[44]
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa mengetahui asba>b al-nuzu>l akan membantu dalam memahami ayat Alquran, karena mengetahui sebab berarti juga mengetahui musabab.
3.      Al-Wa>h}idi> (w. 427 H)
Al-Wa>h}idi> menyatakan sebagaimana dikutip oleh al-Suyu>t}i> bahwa tidak mungkin seseorang dapat menafsirkan suatu ayat tanpa mengetahui sejarah turunnya dan latar belakang masalahnya.
4.      Abu> Fath} al-Qushairi>
Abu> Fath} al-Qushairi> menyatakan bahwa penjelasan tentang asba>b al-nuzu>l adalah merupakan metode yang sangat kuat dalam memahami makna-makna kitab Allah SWT., yang Maha Agung.[45]
5.      Ah}mad Ami>n
Ah}mad Ami>n menyimpulkan bahwa pengetahuan tentang asba>b al-nuzu>l merupakan salah satu pertolongan besar dalam memahami maksud suatu ayat, dan ketidaktahuan seseorang terhadap asba>b al-nuzu>l niscaya akan menjerumuskannya ke dalam kesalahan.[46] 
Terlepas dari pendapat itu semua, memang ada ayat-ayat yang tidak dapat dipahami tanpa mengetahui asba>b al-nuzu>l. Misalnya surah al-Baqarah ayat 62 dan surah al-Ma>idah ayat 93 yang berbunyi,
¨bÎ) tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä šúïÏ%©!$#ur (#rߊ$yd 3t»|Á¨Z9$#ur šúüÏ«Î7»¢Á9$#ur ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# Ÿ@ÏJtãur $[sÎ=»|¹ öNßgn=sù öNèdãô_r& yYÏã óOÎgÎn/u Ÿwur ì$öqyz öNÍköŽn=tæ Ÿwur öNèd š.cqçRtøts

“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang S{a>bii>n, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah SWT., hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.

Selanjutnya secara rinci pula al-Zarqa>ni> menyebutkan ada 7 macam fungsi mengetahui asba>b al-nuzu>l yaitu,
1.      Dapat mengetahui rahasia dan tujuan secara khusus mensyariatkan agama-Nya lewat Alquran dan perhatian syara’ terhadap kepentingan umum, tanpa membedakan etnik, jenis kelamin, dan agama. Jika dianalisis secara cermat, proses penetapan hukum berlangsung secara manusiawi, seperti penghapusan minuman keras, misalnya ayat-ayat Alquran turun dalam empat kali tahapan, yaitu Q.S. al-Nahl: 67, Q.S. al-Baqarah: 219, Q.S. al-Nisa>’: 43, dan Q.S. al-Ma>idah: 91.[47]
2.      Dapat membantu seseorang dalam memahami ayat dan menghindarkan kesulitan. Misalnya dalam memahami firman Allah SWT.,
¬!ur ä-̍ô±pRùQ$# Ü>̍øópRùQ$#ur 4 $yJuZ÷ƒr'sù (#q9uqè? §NsVsù çmô_ur «!$# 4 žcÎ) ©!$# ììźur ÒOŠÎ=tæ 

“Dan kepunyaan Allah SWT., lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah SWT. Sesungguhnya Allah SWT., Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui”.[48]

Lafaz ayat tersebut secara ekspelisit menunjukkan bahwa bolehnya seseorang melaksanakan salat menghadap ke arah mana saja yang diinginkannya dan tidak ada kemutlakan (wajib) menghadap ke arah kiblat (Masjidil Haram), baik bagi musafir maupun muqimin (menetap di tempat). Akan tetapi, jika seseorang itu mengetahui bahwa ayat itu turunnya khusus pada salat sunah safar (dalam perjalanan), atau orang yang salat dengan ijtihadnya dan kemudian ternyata arah kiblat hasil ijtihadnya itu tidak tepat sebagaimana mestinya, maka dia akan memahami bahwa ayat tersebut memberikan kemudahan dan keringanan kepada musafir pada salat sunah atau orang yang salah arah kiblatnya di waktu salat dan diketahui setelah salat selesai.[49]
3.      Dapat menolak dugaan adanya pembatasan (الحصر) dalam ayat yang menurut zahirnya mengandung pembatasan. Misalnya firman Allah SWT., yang terdapat dalam Alquran,
@è% Hw ßÉ`r& Îû !$tB zÓÇrré& ¥n<Î) $·B§ptèC 4n?tã 5OÏã$sÛ ÿ¼çmßJyèôÜtƒ HwÎ) br& šcqä3tƒ ºptGøŠtB ÷rr& $YByŠ %·nqàÿó¡¨B ÷rr& zNóss9 9ƒÍ\Åz ¼çm¯RÎ*sù ê[ô_Í ÷rr& $¸)ó¡Ïù ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/

“Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah SWT”.[50]

Imam Sha>fi’i> menyatakan bahwa has}r pada ayat tersebut bukanlah termasuk yang dimaksud dalam ayat itu sendiri. Untuk menolak dugaan adanya has}r dalam ayat ini Imam Sha>fi’i> mengemukakan alasan bahwa sebab turunnya ayat ini sehubungan dengan sikap orang-orang kafir yang tidak suka mengharamkan kecuali apa yang dihalalkan oleh Allah SWT., dan menghalalkan apa yang diharamkan-Nya. Hal tersebut mereka lakukan karena pembangkangannya kepada Allah SWT., dan Rasul-Nya. Sebab itulah ayat tersebut turun dalam bentuk pembatasan formal sebagai penekanan dan penentangan yang keras dari Allah SWT., dan Rasul-Nya terhadap mereka, dan bukan maksud dari hakikat has}r.[51]
Imam al-Haramain berkata, “[U]slub ayat tersebut sangat indah, kalau saja Imam Sha>fi’i> tidak mengatakan pendapat demikian, niscaya kami tidak dapat menarik kesimpulan perbedaan Imam Ma>lik dalam hal has}r (batasan hal yang diharamkan), seperti disebut dalam ayat di atas”.[52]
Berkaitan dengan hal ini al-S}a>buni> memberi penjelasan dari uraian ayat di atas, bahwa zahir ayat menunjukkan batasan yang haram, yaitu bahwa yang haram hanya yang tersebut dalam ayat di atas. Padahal persoalannya tidak demikian, karena di samping yang tersebut pada ayat di atas, masih ada lagi yang lain. Hanya saja, pengungkapannya berbentuk has}r, sedangkan maknanya tidak demikian, yaitu sebagai bantahan terhadap orang-orang musyrik yang mengharamkan sesuatu yang sebenarnya dihalalkan Allah SWT., dan menghalalkan yang sebenarnya diharamkan Allah SWT.[53]
4.      Dapat mengkhususkan (تخصيص) hukum pada sebab. Hal ini terbatas pada ulama yang menyandang bahwa yang harus diperhatikan adalah kekhususan sebab dan keumuman lafaz. Pendapat ini berpegang pada kaidah,
الْعِبْرَةُ بِخُصُوصِ السَّبَبِ لاَ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ.
Dapat mengetahui bahwa sebab turunnya ayat tidak keluar dari hukum yang terkandung dalam ayat tersebut, walaupun datang mukhas}s}i>s}nya (yang mengkhususnya). Hal ini didasari oleh ijma’ yang menyatakan bahwa hukum sebab tetap selama-lamanya. Dengan demikian, takhs}i>s} (pengkhususan) terbatas pada masalah yang diluar sebab. Misalnya firman Allah SWT.,
¨bÎ) tûïÏ%©!$# šcqãBötƒ ÏM»uZ|ÁósãKø9$# ÏM»n=Ïÿ»tóø9$# ÏM»oYÏB÷sßJø9$# (#qãZÏèä9 Îû $u÷R9$# ÍotÅzFy$#ur öNçlm;ur ë>#xtã ×.LìÏàtã tPöqtƒ ßpkôs? öNÍköŽn=tã öNßgçFt^Å¡ø9r& öNÍkÏ÷ƒr&ur Nßgè=ã_ör&ur $yJÎ/ (#qçR%x. t.bqè=yJ÷ètƒ  7ͳtBöqtƒ ãNÍkŽÏjùuqムª!$# ãNßgoYƒÏŠ ¨,ysø9$# tbqßJn=÷ètƒur ¨br& ©!$# uqèd ,ysø9$# ß.ûüÎ7ßJø9$#  

“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar. Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Di hari itu, Allah SWT., akan memberi mereka Balasan yag setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah SWT-lah yang benar, lagi yang menjelaskan (segala sesutatu menurut hakikat yang sebenarnya)”.[54]

Menurut riwayat Ibnu ‘Abba>s bahwa ayat tersebut secara khusus turun pada ‘A<ishah atau pada seluruh istri Nabi SAW. Intisari dari turunnya ayat tersebut adalah bahwa Allah SWT., tidak mengampuni dosa orang-orang yang menuduh ‘A<ishah dan istri-istri Nabi SAW., lainnya berbuat hal-hal yang tidak terpuji. Akan tetapi, Allah SWT., akan menerima taubat orang-orang yang menuduh perempuan berbuat tidak terpuji selain dari para istri Nabi SAW.
5.      Dapat mengetahui ayat-ayat tertentu yang turun padanya secara tepat sehingga tidak terjadi kesamaran. Misalnya ‘A<ishah dapat menolak tuduhan Marwa>n terhadap saudaranya, ‘Abd al-Rah}ma>n bin Abu> Bakar. Dakwaan Marwa>n adalah bahwa ayat 17 dari surah al-Ah}qa>f turun pada masalah ‘Abd al-Rah}ma>n bin Abu> Bakar, ayat tersebut berbunyi,
Ï%©!$#ur tA$s% Ïm÷ƒt$Î!ºuqÏ9 7e$é& !$yJä3©9 ûÓÍ_ÏR#yÏès?r& ÷br& ylt÷zé& ôs%ur ÏMn=yz ãbrãà)ø9$# `ÏB Î=ö7s% $yJèdur Èb$sWŠÉótGó¡o ©!$# y7n=÷ƒur ô`ÏB#uä ¨bÎ) yôãur «!$# A,ym ãAqà)usù $tB !#x»yd HwÎ) 玍ÏÜ»yr& .tûüÏ9¨rF{$#

“Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: "Cis bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan, padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku, lalu kedua ibu bapaknya itu memohon pertolongan kepada Allah SWT., seraya mengatakan: "Celaka kamu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allah SWT., adalah benar". lalu Dia berkata: "Ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu belaka”.

‘A<ishah berkata, “Demi Allah SWT., yang dimaksud ayat tersebut bukanlah ‘Abd al-Rah}ma>n bin Abu> Bakar, dan jika aku mau menyebutkannya aku dapat menyebutkan namanya”.[55]
Dapat mempermudah orang-orang yang menghafal ayat-ayat Alquran serta memperkuat keberadaan wahyu Allah SWT., dalam ingatan seseorang yang mendengarnya jika yang mendengarnya itu mengetahui sebab turunnya ayat. Alasannya adalah pertalian antara sebab dan akibat, hukum dan peristiwanya, peristiwa dan pelaku, masa dan tempatnya, itu semua merupakan faktor-faktor yang menyebabkan mantapnya dan terlukisnya sesuatu dalam ingatan.[56]



























[1] Abd. Ghaffar, T{aghut Modern dalam Perspektif Hermeneutika Alquran, 127.
[2] Muhammad Zainuddin, Metode Memahami Alquran (Bandung: Khazanah Intelektual, 2005), 50.
[3] Abu Anwar, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, 29.
[4] Muhammad Zainuddin, Metode Memahami Alquran, 51.
[5] Ibid., 51.
[6] Ibid., 51.
[7] Ibid., 51-52.
[8] Ibid., 52.
[9] Nama lengkapnya adalah Abi> al-H{asan ‘Ali> ibn Ah}mad ibn Muh}ammad ibn ‘Ali> al-Wa>h}idi>. Beliau lahir pada tahun antara 388-398, dan wafat pada bulan Jumadil Akhir tahun 468 H. Lihat Abi> al-Hasan ‘Ali> ibn Ah}mad ibn Muh}ammad ibn ‘Ali> al-Wa>h}idi>, Asba>b al-Nuzu>l al-Qur’a>n, 13-15.
[10] Abu Anwar, ‘Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, 29-30.
[11] Pendapat al-Suyu>t}i> tersebut juga dikutip oleh Manna>’ al-Qat}t}a>n di dalam bukunya Pengantar Studi Ilmu Alquran, halaman 95.
[12] S}ubh}i> S}a>lih}, Membahas Ilmu-Ilmu Alquran (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), 173.
[13] Manna>’ al-Qat}t}a>n, Pengantar Studi Ilmu Alquran, 95.
[14] Q.S. ‘Ali Imra>n (3) : 100. Lihat Lajnah Pentashih Mushaf Alquran Departemen Agama Republik Indonesia, Alquranul Karim dan Terjemahan Edisi Keluarga, 62.
[15] Abu Anwar, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, 30.
[16] Abu. Ghaffar, T{a>ghut Modern dalam Perspektif Hermeneutika Alquran, 127-128.  
[17] Ibid., 128.
[18] Ibid., 128.
[19] Hadis marfu>’ adalah perkataan, perbuatan, dan taqrir yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., baik sanad hadis tersebut bersambung-sambung atau terputus, baik yang menyandarkan hadis itu sahabat maupun lainnya. Lihat M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 155.
[20] Muhammad Zainuddin, Metode Memahami Alquran, 56.
[21] Manna>’ al-Qat}t}a>n, Pengantar Studi Ilmu Alquran, 93.
[22] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat Alquran, 238-239.
[23] Manna>’ al-Qat}t}a>n, Pengantar Studi Ilmu Alquran, 93.
[24] Hadis mursal adalah hadis yang dimarfu>’kan oleh seorang ta>bi’iy kepada Rasulullah SAW., baik berupa sabda, perbuatan, maupun taqrir, baik ta>bi’iy itu kecil atau besar. M. ‘Ajaj al-Kha>t}ib, Ushul al-Hadits: Pokok-Pokok Ilmu Hadis (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), 304.
[25] Manna>’ al-Qat}t}a>n, Pengantar Studi Ilmu Alquran, 93-94.
[26] S}ubh}i> S}a>leh}, Membahas Ilmu-Ilmu Alquran, 177.
[27] Ibid., 177.
[28] Muhammad Zainuddin, Metode Memahami Alquran, 57.
[29] Manna>’ al-Qat}t}a>n, Pengantar Studi Ilmu Alquran, 94.
[30] Muhammad Zainuddin, Metode Memahami Alquran, 67.
[31] Ibid., 67.
[32] Manna>’ al-Qat}t}a>n, Pengantar Studi Ilmu Alquran, 105.
[33] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat Alquran, 238.
[34] Manna>’ al-Qat}t}a>n, Pengantar Studi Ilmu Alquran, 105-106.
[35] Muhammad Zainuddin, Metode Memahami Alquran, 67.
[36] Manna>’ al-Qat}t}a>n, Pengantar Studi Ilmu Alquran, 106.
[37] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat Alquran, 238.
[38] Manna>’ al-Qat}t}a>n, Pengantar Studi Ilmu Alquran, 108.
[39] Ibid., 106.
[40] Q.S. al-Nisa>’: 65. Lihat Lajnah Pentashih Mushaf Alquran Departemen Agama Republik Indonesia, Alquranul Karim dan Terjemahan Edisi Keluarga, 88.
[41] Manna>’ al-Qat}t}a>n, Pengantar Studi Ilmu Alquran, 107.
[42] Ibid., 107.
[43] Muh}ammad ‘Ali> al-S}a>buni>, Studi Ilmu Alquran, 42.
[44] Nama lengkapnya Ah}mad bin ‘Abdi al-H{alim bin ‘Abdi as-Salam bin ‘Abdillah bin al-Khadr bin Muh}ammad bin al-Khadr bin ‘Ali> bin ‘Abdillah bin Taimiyah al-Namiri al-H{arrani> al-Dimashqi> Abu> al-‘Abba>s Taqiyuddin. Lihat Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), 783. Lihat juga Ibnu Taimiyah, Tafsir Alquran (Pustaka Mantiq, ), 12.
[45] Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Alquran, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), 110.
[46] Ibid., 111.
[47] M. Quraish Shihab et al., Sejarah dan ‘Ulum Alquran, 79-80.
[48] Q.S. al-Baqarah (2) : 115. Lihat Lajnah Pentashih Mushaf Alquran Departemen Agama Republik Indonesia, Alquranul Karim dan Terjemahan Edisi Keluarga, 18.
[49] Abu Anwar, ‘Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, 37-38.
[50] Q.S. al-An’a>m (6) : 145. Lihat Lajnah Pentashih Mushaf Alquran Departemen Agama Republik Indonesia, Alquranul Karim dan Terjemahan Edisi Keluarga, 147.
[51] Abu Anwar, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, 39.
[52] Muh}ammad ‘Ali> al-S}abuni>, Studi Ilmu Alquran, 47.
[53] Ibid., 47.
[54] Q.S. al-Nu>r (24) : 23-25. Lihat Lajnah Pentashih Mushaf Alquran Departemen Agama Republik Indonesia, Alquranul Karim dan Terjemahan Edisi Keluarga, 352.
[55] Muh}ammad al-S}abuni>, Studi Ilmu Alquran, 41.
[56] Abu Anwar, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, 41.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM SHOLAT DI BELAKANG SHAF YANG ADA CELAH MENURUT 4 IMAM

  Menurut mazhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i, Sholat di belakang shaf yang ada renggang atau celah hal ini makruh menurut kesepakatan para imam mazhab, tidak termasuk Imam Hambali. Sedangkan menurut mazhab Hambali : Jika seseorang sholat di belakang shaf yang ada renggang atau celah, jika dia sendirian maka batal sholatnya. Tapi, jika bersama lainnya, maka makruh sholatnya. Diterjemahkan dari Kitab al-Fiqh 'ala Mazahib al-Arba'ah Karya 'Abdurrahman al-Jaziriy Jilid 1 Halaman 253

Pondok Pesantren Daarul Aula Kembali Membuka Gelombang Pendaftaran

Alhamdulillah Pondok Pesantren Daarul Aula kembali membuka Penerimaan Santri Baru Tahun Ajaran 2022/2023 untuk Gelombang II, mulai tanggal 16 Mei s/d 30 Juni 2022. Bagi Bapak/Ibu/Saudara/Saudari/Sahabat yang berminat mendaftarkan putra putri nya bisa mengikuti petunjuk pendaftaran di bawah ini 👇👇👇 PENDAFTARAN SANTRI BARU PONDOK PESANTREN DAARUL AULA SINGKUT TAHUN PELAJARAN 2022-2023 M/ 1443-1444 H السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرْكَاتُهُ Bapak/Ibu calon wali santri PP. Daarul Aula, mudah-mudahan selalu dirahmati oleh Allah Ta'ala.    Kami Panitia Penerimaan Santri Baru Pondok Pesantren DAARUL AULA Singkut memberitahukan bahwa pendaftaran bisa dilakukan dengan 3 (tiga) cara, yaitu ; 1. Pendaftaran dengan cara datang langsung ke Kantor atau Sekretariat Penerimaan Santri Baru di Pondok Pesantren Daarul Aula. 2. Pendaftaran dilakukan dengan cara DARING (ONLINE) bisa melalui Hp Android dan Laptop dengan cara mengisi formulir pendaftaran (klik tautan di bawah ini) ;...

SHALAT NAWAFIL MENURUT MADZHAB SYAFI'IYYAH

SHALAT-SHALAT NAWAFIL MENURUT MADZHAB SYAFI'IYYAH (Fiqih Islam wa Adillatuhu, Juz 2, Halaman 216-217) Shalat Nawafil menurut Syafi'iyyah terbagi menjadi dua; nawafil yang disunnahkan untuk dilakukan dengan berjamaah, dan nawafil yang tidak disunnahkan berjamaah: 1. SHALAT NAFILAH YANG DISUNNAHKAN UNTUK BERJAMAAH ADA TUJUH SHALAT: Shalat hari raya ldul Fitri dan Idul Adha, shalat gerhana matahari dan gerhana bulan, shalat istisqa', dan shalat tarawih. Sayyidah Aisyah berkata, "Rasulullah saw. mendirikan shalat tarawih pada malam hari dan para sahabat mengikuti beliau. Malam berikutnya Rasul tidak ke masjid dan melakukan shalatnya di rumah sampai akhir bulan Ramadhan. Ketika ditanyakan mengenai hal itu beliau menjawab, Aku takut shalat ini diwajibkan atas kalian hingga melemahkan kalian."' Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban meriwayatkan dari Iabir, ia berkata, "Kami shalat bersama Rasulullah saw. pada bulan Ramadhan sebanyak delapan rakaat, dan dis...