A. Definisi Asba>b al-Nuzu>l
Asba>b al-nuzu>l ayat-ayat Alquran
merupakan salah satu alat bantu untuk memahami dan menafsirkan Alquran secara
benar dan komprehensif. Tanpa mengetahui asba>b al-nuzu>l suatu ayat dapat mengakibatkan salah tafsir dalam memahami maksud
dan tujuan diturunkannya ayat-ayat Alquran. Begitu pentingnya mengetahui asba>b al-nuzu>l ayat-ayat Alquran, maka pemahaman
terhadap makna dan maksud ayat-ayat yang diturunkan akan dapat menghilangkan
perasaan sikap keragu-raguan dalam menafsirkannya.[1]
Asba>b al-nuzu>l mengandung arti peristiwa-peristiwa
khusus yang terjadi di masa Rasulullah SAW., yang melatarbelakangi turunnya
ayat-ayat Alquran, baik berupa jawaban, penegasan, ataupun teguran terhadap
peristiwa tersebut.[2]
1.
Suatu peristiwa yang terjadi menjelang turunnya
ayat. Sesuai dengan pendapat al-Zarqa>ni>:
ماَ نُزِلَتِ
الْأَيَةُ اَوِ الْأَيَاتِ مُتَحَدِّثَةً عَنْهُ اَوْ مُبَيِّنَةً لِحُكْمِهِ
اَيَّامَ وُقُوْعِهِ
“Asba>b
al-nuzu>l adalah diturunkannya suatu ayat
atau beberapa ayat (Alquran) sebagai jawaban peristiwa (sebab) atau sebagai
penegasan hukumnya yang terjadi dikala itu”.
2.
Peristiwa-peristiwa pada masa ayat Alquran itu
diturunkan (yaitu dalam waktu 23 tahun), baik peristiwa itu terjadi sebelum
atau sesudah ayat itu diturunkan.
3.
Peristiwa yang dicakup oleh suatu ayat, baik pada
waktu 23 tahun itu maupun yang terjadi sebelum atau sesudahnya. Ini sesuai
dengan definisi yang dikemukakan oleh S}ubh}i> S}a>lih} yang berbunyi:
ماَ
نَزَلَتِ الْأَيَةُ اَوِ الْأَيَاتُ بِسَبَبِهِ مُتَضَمَّنَةً لَهُ اَوْ
مُجِيْبَةً عَنْهُ اَوْ مُبَيِّنَةً لِحُكْمِهِ زَمَنَ وُقُوْعِهِ
“Sesuatu yang dengan sebabnya turun suatu ayat atau beberapa ayat yang
mengandung sebab itu, atau memberi jawaban terhadap sebab itu, atau menerangkan
hukumnya pada masa terjadinya sebab tersebut”.
Pengertian
ketiga ini memberikan indikasi bahwa sebab turunnya suatu ayat adakalanya
berbentuk peristiwa dan adakalanya berbentuk pertanyaan. Suatu ayat atau
beberapa ayat yang turun untuk menerangkan hal yang berhubungan dengan
peristiwa tertentu atau memberi jawaban terhadap pertanyaan tersebut.
Maksud dari
peristiwa di atas adalah kejadian yang terjadi di zaman Nabi Muhammad SAW.,
baik kejadian yang langsung dialami oleh beliau, keluarganya, ataupun para
sahabatnya.[4]
Contoh peristiwa
langsung yang dialami oleh Nabi SAW.,
sendiri ialah seperti peristiwa yang berkenaan dengan Ibn Ummi
Maktu>m yang tidak bisa
melihat. Ia datang kepada Nabi SAW., untuk meminta petunjuk sambil berteriak,
“Berilah petunjuk kepadaku, ya Rasulullah SAW”. Pada waktu itu Nabi Muhammad
SAW., sedang serius menghadapi para pembesar kaum musyrikin Quraisy, sehingga
beliau tidak menghiraukan tegur sapanya Ibn Ummi Maktu>m dan tetap menghadapi para pembesar
Quraisy tersebut. Kemudian Ibn Ummi Maktu>m menyapa kembali, “Apakah yang saya
katakan ini mengganggu tuan?” Rasulullah SAW., menjawab, “Tidak”. Maka turunlah
ayat 1-10 dari surah ‘Abasa sebagai teguran kepada Rasulullah SAW.[5]
Peristiwa yang
dialami keluarganya seperti kejadian “H{adi>th
al-Ifk” yaitu cerita dusta dan fitnah yang
menimpa Ummu al-Mukmini>n, ‘A<ishah. Pada suatu saat Rasulullah SAW.,
mengundi istri-istrinya untuk ikut serta ke medan perang, kebetulan Ummu
al-Mukmini>n, ‘A<ishah, yang terundi. Ia kemudian naik ke atas tandu yang
ditaruh di atas unta, seperti biasanya. Di perjalanan pulang seusai perang dan
hampir mendekati kota Madinah, Rasulullah SAW., memberi izin untuk berhenti
sebentar. ‘A<ishah pun turun untuk buang hajat. Ketika
kembali, ia mendapati kalungnya tidak ada. Ia kembali ke tempat buang hajat
untuk mencarinya. Para pemikul tandu langsung meletakkan tandu ‘A<ishah ke atas unta dan mereka mengira ‘A<ishah ada di dalamnya. Kesalahpahaman ini terjadi karena ‘A<ishah memiliki badan yang langsing, seolah-olah tidak ada
bedanya tandu kosong atau berisi. Setelah menemukan kalungnya, ‘A<ishah bergegas menuju tempat peristirahatan, ternyata
kabilah itu sudah pergi meninggalkannya. ‘Aisyah duduk di tempat semula dengan
harapan mereka akan kembali untuk menjeputnya. Tanpa disadari, ‘A<ishah pun tertidur karena lamanya menunggu. Kebetulan S}afwan
Ibn al-Mu’at}t}al yang tertinggal
pasukan karena suatu halangan, tiba di tempat ‘A<ishah menunggu.[6]
Ketika S}afwan melihatnya, ia mengucapkan “Inna>
lilla>hi wa inna> ilaihi ra>ji’u>n”.
‘A<ishah terbangun dan tidak bicara sepatah kata
pun. S}afwan
menyuruh untanya berlutut agar ‘A<ishah dapat naik ke atas unta tersebut. Ia
menuntunnya sampai ke tempat pasukan yang sedang berteduh. Kejadian ini
dimanfaatkan oleh orang-orang munafik yang diprakarsai oleh ‘Abdullah
Ibn Ubay Ibn Salul untuk
menyebarkan fitnah dan membuat ‘A<ishah menderita sakit. Berkenaan dengan
peristiwa tersebut, Allah SWT., menurunkan ayat 11-20 dari surah al-Nu>r yang menegaskan tentang kesucian diri Ummu
al-Mukmini>n, ‘A<ishah.[7]
Peristiwa yang
dialami para sahabat dapat dilihat dalam cerita Mazi>z. Ia merupakan seorang pedagang yang
membawa barang dagangannya dari Ambar ke Mekah. Pada suatu hari, ia bertemu
dengan seorang wanita cantik bernama ‘Anaq (wanita penzina). Mazi>z meminta izin kepada Rasulullah SAW.,
untuk mengawininya, akan tetapi Nabi SAW., tidak langsung menjawabnya. Allah
SWT., menurunkan ayat 3 dari surah al-Nu>r. Rasulullah SAW., pun bersabda, “Hai Mazi>z, seorang pezina tidak akan mengawini
kecuali pezina lagi. Oleh karena itu, janganlah engkau menikah dengannya”.[8]
Dalam hal ini
termasuk pendapat al-Wa>h}idi>,[9]
yang menyatakan bahwa latar belakang turunnya surah al-Fi>l adalah kisah penyerbuan Ka’bah oleh
Raja Habsyah (Abrahah).[10]
Menurut pendapat
al-Suyu>t}i>
sebagaimana dikutip oleh Dr. S}ubh}i> S}a>lih} dalam bukunya Membahas Ilmu-Ilmu
al-Qur’an,[11]
beliau menjelaskan itu bukan sebab turunnya Surah tersebut. Surah al-Fi>l termasuk berita-berita tentang berbagai
kejadian di masa lampau. Sama halnya dengan kisah Nabi Nu>h, kaum ‘Ad, kaum Tsamud, pembangunan
Ka’bah dan lain sebagainya. Demikian pula tentang surah al-Nisa>’: 115 yang maknanya: Dan Allah SWT., telah
mengangkat Ibra>hi>m
sebagai khali>l
(kesayangan-Nya). Al-Wa>h}idi> menyebut firman itu sebagai sebab
pengangkatan Ibra>hi>m
sebagai khali}lullah.
Maka jelas, bukan itu sebab turunnya firman Allah SWT., tersebut.[12]
Berlebihan jika
kita memperluas pengertiannya dengan memasukkan berita-berita tentang umat
terdahulu dan peristiwa-peristiwa masa lalu. Al-Suyu>t}i> dan orang-orang yang konsen terhadap
masalah asba>b al-nuzu>l mengatakan bahwa ayat itu tidak turun di saat
terjadinya sebab. Ia menyatakan demikian itu karena hendak mengkritik apa yang
dikatakan oleh al-Wa>h}idi>
dalam menafsirkan surah al-Fi>l.[13]
Sebab turun ayat
dalam bentuk peristiwa ini ada tiga macam, yaitu:
1. Disebabkan peristiwa
pertengkaran. Contoh peristiwa ini adalah perselisihan yang berkecamuk antara
suku Aus dengan suku Khazraj. Perselisihan tersebut muncul dari
intrik-intrik yang dihembuskan oleh kelompok Yahudi sehingga mereka berteriak, “senjata! senjata! (perang! perang!)”.
Peristiwa tersebut menyebabkan turunnya ayat:
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#þqãYtB#uä
bÎ)
(#qãèÏÜè?
$Z)Ìsù
z`ÏiB
tûïÏ%©!$#
(#qè?ré&
|=»tGÅ3ø9$#
Nä.rãt
y֏t/
öNä3ÏZ»oÿÎ)
tûïÌÏÿ»x.
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian dari
orang-orang yang diberi al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu
menjadi orang kafir sesudah kamu beriman”. [14]
Ayat tersebut
dilanjutkan sampai beberapa ayat sesudahnya. Hal ini merupakan cara terbaik
untuk menjauhkan orang dari perselisihan dan merangsang orang untuk berkasih
sayang satu dengan lainnya, memiliki rasa persaudaraan yang tinggi dan
kekompakkan atau kesepakatan yang kuat.[15]
2.
Disebabkan peristiwa kesalahan yang serius. Contoh,
seorang yang menjadi imam dalam salat dan orang tersebut dalam keadaan mabuk.
Sehingga orang tersebut salah membaca surah al-Ka>firu>n. Dia membacanya dalam salat:
ö@è% $pkr'¯»t crãÏÿ»x6ø9$# .
ßç6ôãr& $tB tbrßç7÷ès?
“Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, Aku akan menyembah apa
yang kamu sembah”.
Imam
tersebut tidak menggunakan kata لا
ketika
membaca لا أعبد. Peristiwa tersebut
menyebabkan turunnya Surah al-Nisa>’: 42 yang
melarang orang mengerjakan salat ketika mabuk. Ayat tersebut berbunyi:
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghampiri (mengerjakan) salat sedang
kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan”.
3.
Disebabkan adanya cita-cita dan keinginan. Contoh,
sejarah mencatat ada beberapa ucapan yang ingin diucapkan oleh ‘Umar
al-Khat}t}a>b, tapi ia tidak
berani, kemudian turun ayat misalnya yang diinginkan oleh ‘Umar, ayat 14 dalam surah al-Mukmini>n yang berbunyi:
x8u$t7tFsù ª!$# ß`|¡ômr& tûüÉ)Î=»sø:$#
”Maka Maha sucilah Allah,
Pencipta yang paling baik”.
Contoh
lain adalah menjadikan maqam Ibra>hi>m sebagai tempat
salat, ayat tersebut berbunyi:
Jika
dilihat dari motivasinya, bentuk pertanyaan dapat dibagi menjadi dua yaitu,
1.
Pertanyaan itu datangnya dari kaum
Muslimin. Mereka bertanya kepada Nabi SAW., karena ragu atau tidak tahu,
sehingga mengharapkan penjelasan dari beliau. Misalnya mereka ragu dan tidak
tahu mengenai jenis harta yang harus diinfaqkan, maka mereka bertanya kepada
Rasulullah SAW., atas pertanyaan itu, turunlah ayat 219 dari surah al-Baqarah.
tRqè=t«ó¡our #s$tB tbqà)ÏÿZã È@è% uqøÿyèø9$# 3 ....
“Dan mereka bertanya
kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari
keperluan...."
2.
Pertanyaan itu datang dari
orang-orang musyrikin Quraisy atau dari orang-orang ahli kitab. Mereka bertanya
bukan karena ragu ataupun tidak tahu, akan tetapi hanya ingin menguji kenabian
dan kerasulan Muh}ammad SAW. Mereka
bertanya tentang ruh, tentang kapan terjadinya hari kiamat, dan yang
sejenisnya.
Pertanyaan-pertanyaan
ini apabila dikaitkan dengan waktu, akan terbagi ke dalam tiga kelompok, yaitu
sebagai berikut.
1.
Pertanyaan yang berhubungan dengan
sesuatu yang telah lalu, seperti pertanyaan tentang Dhu> al-Qarnain.
2.
Pertanyaan yang berhubungan dengan
sesuatu yang terjadi saat itu, seperti pertanyaan tentang ruh.
3.
Pertanyaan yang berhubungan dengan
sesuatu yang belum terjadi, seperti pertanyaan mengenai hari kiamat.
Muhammad
Syahrur dalam tulisannya sebagaimana dikutip oleh Abd. Ghaffar dalam bukunya
mengatakan: “[P]erlakukanlah Alquran seolah-olah Nabi SAW., baru meninggal
kemarin”. Statemen ini menunjukkan bahwa pemahaman terhadap konteks kesejarahan
(asba>b al-nuzu>l), pada
prinsipnya akan memberikan manfaat dalam penafsiran, terutama dalam hal
memudahkan untuk mengidentifikasi fenomena-fenomena moral dan perilaku sosial
masyarakat Arab di saat diturunkan Alquran. Juga dalam hal menghindari dari
praktek-praktek pemaksaan pra-konsepsi dalam penafsiran.[16]
Menurut
Abu Zayd, ilmu asba>b al-nuzu>l merupakan
disiplin ilmu yang paling penting dalam menunjukkan hubungan dan dialektika
antara teks dan realitas. Ilmu tentang asba>b al-nuzu>l memberi bekal kepada seorang mufasir mengenai materi teks yang
merespon realitas, baik dengan cara menguatkan ataupun menolak, dan menegaskan
hubungan yang dialogis dan dialektis antara teks dan realitas. Oleh karena itu,
kesadaran akan pentingnya konteks sejarah dalam memahami ayat-ayat Alquran
dalam ilmu tafsir Alquran sangat dikenal dalam disiplin kajian asba>b al-nuzu>l. Di mana isi dari kajian ini adalah
menelaah latar belakang diturunkannya ayat-ayat Alquran kepada Nabi SAW.[17]
Di
samping bertujuan untuk mengetahui latar belakang turunnya ayat Alquran,
disiplin kajian ini pada akhirnya juga sangat membantu dalam melacak makna dan
spirit (semangat) dari suatu ayat, di mana hal ini tentunya sangat berguna
dalam upaya kontekstualisasi ayat untuk waktu dan tempat yang berbeda.[18]
B.
Pedoman Mengetahui Asba>b al-Nuzu>l
Untuk mengetahui asba>b al-nuzu>l secara sahih, para ulama berpegang
kepada riwayat sahih yang berasal dari Rasulullah SAW atau dari sahabat. Sebab,
pemberitaan seorang sahabat mengenai hal ini, bila jelas, berarti bukan
pendapatnya, tetapi ia mempunyai hukum marfu>’.[19]
Oleh sebab itu, mayoritas ulama
berpendapat bahwa setiap asba>b
al-nuzu>l
yang diterima dari kalangan para sahabat wajib diterima, selama tidak ada
riwayat yang lebih kuat yang melemahkannya. Oleh karena itu, al-Wa>h}idi> mengatakan,
لاَ
يَحِلُّ الْقَوْلُ فيِ اَسْبَابِ النُّزُوْلِ إِلاَّ بِالرِّوَايَةِ وَ السِّمَاعِ
مِمَّنْ شَاهَدُوْا التَّنْزِيْلَ وَ وَقَفُوْ عَلىَ الْأَسْبَابِ وَ بَحَثُوْا
عَنْ عِلْمِهِ.
“Tidak
dibenarkan membacakan sebab-sebab turunnya Alquran, kecuali melalui periwayatan
dan mendengar dari orang-orang yang menyaksikan turunnya dan membahas
pengertiannya”.[20]
Menurut al-Wa>h}idi>, “[T]idak diperbolehkan ‘main akal-akalan’ dalam asba>b al-nuzu>l Alquran, kecuali berdasarkan pada
riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya,
mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang pengertiannya serta
bersungguh-sungguh dalam mencarinya.[21]
Menurut M. Quraish Shihab, satu hal
yang perlu digarisbawahi dan merupakan salah satu kaidah tafsir adalah: “Asba>b al-nuzu>l haruslah
berdasar riwayat yang sahih. Tidak ada peranan akal dalam menetapkannya”. Peranan akal
dalam bidang ini hanya dalam mentarjih}
riwayat-riwayat yang ada. Shaikh
Muh}ammad ‘Abduh
dikritik oleh banyak ulama karena beliau berpendapat bahwa al-Fa>tih}ah adalah wahyu pertama yang diterima
Nabi SAW., mendahului Iqra’
Bismi Rabbika.
Alasan yang dikemukannya adalah argumen logika bersama satu riwayat yang lemah.
Riwayat yang dikemukannya itu bertentangan dengan aneka riwayat yang kuat
sehingga secara otomatis gugur, sedang argumentasinya, walau sepintas terbaca
logis, tetapi karena asba>b
al-nuzu>l
tidak dapat ditetapkan berdasar logika, maka alasan ulama pembaharu itu pun
gugur demi kaidah ini.[22]
Inilah metodologi ulama salaf.
Mereka amat berhati-hati mengatakan sesuatu mengenai asba>b al-nuzu>l, tanpa pengetahuan yang jelas. Muh}ammad bin Siri>n mengatakan, “[K]etika kutanyakan kepada ‘Ubaidah
mengenai satu ayat Alquran, dia menjawab; Bertakwalah kepada Allah SWT., dan
berkatalah benar. Orang-orang yang mengetahui mengenai apa Alquran itu
diturunkan telah meninggal semua”.[23]
Maksudnya, para sahabat. Apabila
seorang tokoh ulama semacam Ibnu
Siri>n,
yang termasuk pemuka tabi’in terkemuka sudah demikian berhati-hati dalam
meriwayatkan dan cermat dalam menukil, maka hal itu menunjukkan bahwa kita
harus benar-benar mengetahui asba>b
al-nuzu>l.
Oleh karena itu, yang dapat dijadikan pegangan dalam asba>b al-nuzu>l adalah riwayat-riwayat dari sahabat yang bersanad dan secara pasti
menunjukkan asba>b al-nuzu>l. Kata al-Suyu>t}i>, bila ucapan seorang tabi’in itu
benar menunjukkan asba>b al-nuzu>l, maka ucapan
itu dapat diterima dan mempunyai kedudukan mursal[24] bila
penyandaran kepada tabi’in itu benar dan termasuk salah seorang imam tafsir
yang mengambil ilmunya dari para sahabat, seperti Muja>hid, Ikrimah, dan Sa’i>d bin Jubair, serta didukung
oleh hadis mursal yang lain.[25]
Dengan diterimanya hadis dari
seorang sahabat Nabi SAW., yang mengalami masa turunnya ayat-ayat Alquran, dan
dengan diterimanya hadis seorang tabi’in yang diambilnya dari seorang sahabat
Nabi SAW., dapat dimengerti bahwa tujuan menetapkan persyaratan tertentu ialah
agar suatu hadis dapat dipandang sahih, sehingga memperoleh kepastian, bahwa
hadis tersebut benar-benar bersumber pada seorang sahabat Nabi SAW., yang
menyaksikan, mengalami atau mendengar sendiri peristiwa yang berkaitan dengan
turunnya suatu ayat atau menyaksikan, mengalami dan mendengar sendiri
pertanyaan yang menjadi sebab turunnya Alquran.[26]
Barangkali upaya memperoleh
kepastian tentang benarnya kejadian-kejadian itulah yang mendorong para ulama
ahli hadis membatasi cara memperoleh pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya
ayat Alquran pada riwayat-riwayat yang benar (hadis-hadis sahih). Dalam hal itu
mereka menolak setiap upaya perorangan yang mengemukakan pendapat atau ijtihad
mengenai soal tersebut. Itulah yang dimaksud al-Wa>h}idi> dengan kata-kata, “Mengenai asba>b al-nuzu>l tidak
boleh orang mengatakan sesuatu selain riwayat atau berita hadis yang didengar
dari mereka yang mengalami masa turunnya ayat-ayat Alquran, memperhatikan
sebab-sebabnya dan berusaha keras mencari pengertiannya”.[27]
Dalam ilmu hadis, al-H{a>kim menegaskan bahwa apabila seorang
sahabat menyaksikan masa wahyu dan Alquran diturunkan, kemudian meriwayatkan
bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan suatu peristiwa, hadis itu dipandang
sebagai hadis musnad yang
periwayatannya bersambung dari mulai penulis sampai kepada sahabat dan Nabi
SAW. Dengan demikian, setiap asba>b
al-nuzu>l
yang diriwayatkan oleh seorang sahabat dapat diterima, sekalipun tidak
dikuatkan oleh riwayat lain.[28]
Al-Wa>h}idi> mengkritik ulama-ulama zamannya atas kecerobohan mereka terhadap
riwayat asba>b al-nuzu>l. Bahkan ia
menuduh mereka pendusta dan mengingatkan mereka akan ancaman berat, dengan
mengatakan, “Sekarang setiap orang suka mengada-ada dan berbuat dusta, ia menempatkan
kedudukannya dalam kebodohan, tanpa memikirkan ancaman berat bagi orang yang
tidak mengetahui sebab turunnya ayat”.[29]
C.
Redaksi Asba>b al-Nuzu>l
Bentuk redaksi yang menerangkan asba>b al-nuzu>l itu
terkadang berupa penyataan tegas, jelas mengenai sebab, dan terkadang berupa
penyataan yang mengandung kemungkinan. Seperti,
سَبَبُ
نُزُوْلِ الْأَيَةِ فيِ كَذَا
Secara definitif, ungkapan ini menunjukkan asba>b al-nuzu>l
dengan nash yang s}arih} (tegas) dan tidak mengandung makna lain.[30]
Bentuk pertama ialah jika perawi mengatakan, “asba>b al-nuzu>l ayat ini adalah begini” atau menggunakan fa’
ta’qibiyah (kira-kira
seperti “maka,” yang menunjukkan urutan peristiwa) yang dirangkaikan dengan
kata “turunlah ayat,” sesudah ia menyebutkan peristiwa atau pertanyaan. Seperti
pada bagian kalimat:
حَدَثَ
كَذَا .... اَوْ سُئِلَ النَّبِيُّ (ص) عَنْ كَذَا فَنَزَلَتْ ....
Ungkapan seperti ini merupakan nas} yang s}arih} dan menunjukkan
bahwa peristiwa itu menjadi sebab turunnya ayat tersebut.[31]
Misalnya ia mengatakan, “Telah terjadi peristiwa begini,” atau
Rasulullah SAW., ditanya tentang hal begini, maka turunlah ayat ini”. Dengan
demikian, kedua bentuk di atas merupakan pernyataan yang jelas tentang sebab.[32]
M. Quraish Shihab di dalam bukunya Kaidah Tafsir
menjelaskan, “[B]ahwa jika perawinya menyebut satu peristiwa, kemudian dia
menyatakan: (فَنَزَلَتْ الْأَيَةُ) atau menegaskan bahwa, “Ayat ini turun
disebabkan oleh ini”, yakni menyebut peristiwa tertentu, maka itu berarti
ayat tersebut turun semasa/berbarengan dengan peristiwa yang disampaikan”.[33]
Bentuk kedua yaitu redaksi yang boleh jadi menerangkan asba>b al-nuzu>l atau hanya sekedar menjelaskan kandungan hukum ayat ialah jika
misalnya perawi menyatakan, “Ayat ini turun mengenai ini”, yang dimaksud dengan
ungkapan seperti ini, bisa jadi tentang asba>b al-nuzu>l
ayat dan mungkin juga tentang kandungan hukum ayat tersebut.[34]
Seperti kata-kata,
نَزَلَتْ
هَذِهِ الْأَيَةُ فيِ كَذَا ....
Ungkapan tersebut terkadang dimaknai oleh perawi sebagai sebab
turun namun terkadang yang dimaksud adalah untuk menyatakan hukum yang
terkandung dalam suatu ayat.[35]
Demikian juga jika ia mengatakan, “Aku mengira ayat ini turun
mengenai soal begini” atau “Aku tidak mengira ayat ini turun kecuali mengenai
hal begini”. Dengan bentuk redaksi demikian ini, perawi tidak memastikan asba>b al-nuzu>l. Kedua bentuk redaksi tersebut mungkin menyebutkan asba>b
al-nuzu>l dan mungkin
pula menunjukkan hal lain.[36]
Tetapi kalau redaksinya menyatakan: nazalat
al-ayat fi...(نَزَلَتْ الْأَيَةُ فِيْ) yang menegaskan bahwa, “Ayat ini turun
menyangkut...”, baru kemudian menyebut peristiwa, maka itu berarti bahwa
kandungan ayat itu mencangkup peristiwa itu.[37]
Contoh pertama ialah apa yang diriwayatkan bersumber dari Ibnu
‘Umar, katanya, “Ayat yang berbunyi: ‘Istri-istri
kamu adalah ibarat tanah tempat kamu bercocok tanam,’ (al-Baqarah: 223) turun terkait dengan masalah menggauli istri dari belakang”.
Redaksi riwayat dari Ibnu ‘Umar ini tidak dengan tegas menunjukkan asba>b al-nuzu>l.
Sementara itu terdapat riwayat yang secara tegas menyebutkan asba>b al-nuzu>l yang bertentangan dengan riwayat tersebut. Melalui Ja>bir katanya, “Orang Yahudi berkata, jika seorang laki-laki mendatangi
istrinya dari belakang, maka anaknya akan bermata juling. Maka turunlah ayat; (Istri-istrimu
adalah ibarat tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok
tanammu itu bagaimana saja kamu hendaki)”, maka riwayat Ja>bir inilah yang dijadikan pegangan, karena ucapannya merupakan
pernyataan tegas tentang asba>b
al-nuzu>l. Sedang ucapan
Ibnu
‘Umar tidak demikian, karena itu ia
dipandang sebagai kesimpulan atau penafsiran.[38]
Contoh kedua ialah apa yang diriwayatkan dari ‘Abdullah
bin Zubair, bahwa Zubair mengajukan gugatan kepada seorang laki-laki dari kaum Anshar yang
pernah ikut dalam perang Badar di hadapan Rasulullah SAW., tentang saluran air
yang mengalir dari tempat yang tinggi. Keduanya mengairi kebun korma
masing-masing dari tempat yang sama. Orang Anshar berkata,” Biarkan airnya
mengalir”. Tetapi Zubair
menolak. Maka kata Rasulullah SAW., “Airi kebunmu itu wahai Zubair, kemudian
biarkan air itu mengalir ke kebun tetanggamu”. Orang Anshar itu marah,
katanya, “Wahai Rasulullah SAW., apa sudah waktunya anak bibimu itu berbuat
demikian?” wajah Rasulullah SAW., menjadi merah. Kemudian beliau berkata, “Airi
kebunmu wahai Zubair, kemudian tahanlah air itu hingga memenuhi pematang. Lalu,
biarkan ia mengalir ke kebun tetanggamu”.[39]
Rasulullah SAW., dengan keputusan ini telah memenuhi hak Zubair, padahal sebelum itu beliau mengisyaratkan keputusan yang
memberikan kelonggaran kepadanya dan kepada orang Anshar itu. Ketika Rasulullah
SAW., marah kepada orang Anshar, ia memenuhi hak Zubair secara nyata. Maka kata Zubair secara nyata, “Aku tidak mengira ayat berikut ini turun kecuali
mengenai urusan tersebut; ‘Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak
beriman hingga menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan”.[40]
Ibnu
Taimiyah mengatakan, “[U]capan
mereka bahwa ayat ini turun mengenai urusan ini, terkadang dimaksudkan bahwa
urusan itu termasuk ke dalam cakupan ayat walaupun tidak ada asba>b al-nuzu>lnya”. Para ulama berselisih pendapat mengenai ucapan sahabat. Ayat
ini turun mengenai urusan ini, apakah ucapan seperti ini berlaku sebagai hadis musnad seperti kalau dia menyebutkan sesuatu sebab yang karenanya ayat
diturunkan ataukah berlaku sebagai tafsir dari sahabat itu sendiri, bukan musnad. Bukhari memasukkan ke dalam kategori hadis musnad, sedang yang lain tidak memasukkannya. Sebagian besar hadis musnad itu menurut istilah atau pengertian ini, seperti Musnad Ah}mad dan
lain-lain. Berbeda halnya bila sahabat menyebutkan sesuatu sebab yang
sesudahnya diturunkan ayat. Bila demikian, maka mereka semua memasukkan
penyataan seperti ini ke dalam hadis musnad.[41]
Al-Zarkashi> dalam al-Burha>n sebagaimana dikutip oleh Manna>’ al-Qat}t}a>n menyebutkan, “[T]elah maklum dari kebiasaan para sahabat dan
tabi’in bahwa apabila salah seorang dari mereka berkata; Ayat ini turun
mengenai urusan ini, maka yang dimaksud ialah ayat itu mengandung hukum urusan
ini, bukan urusan ini yang menjadi sebab penurunan ayat. Pendapat sahabat ini
termasuk ke dalam jenis penyimpulan hukum dengan ayat, bukan jenis pemberitaan
(penukilan) mengenai sesuatu kenyataan yang terjadi”.[42]
D.
Manfaat mengetahui Asba>b
al-Nuzu>l
Sebagian orang ada yang beranggapan
bahwa ilmu asba>b al-nuzu>l tidak ada
gunanya dan tidak ada pengaruhnya karena pembahasannya hanyalah berkisar pada
lapangan sejarah dan berita. Menurut anggapan mereka, ilmu asba>b al-nuzu>l tidak
mempermudah bagi orang yang hendak berkecimpung dalam menafsirkan Alquran.
Anggapan tersebut adalah salah dan tidak patut didengar karena tidak
berdasarkan pendapat para ahli tafsir.[43]
Menurut sebagian ulama ada beberapa
manfaat mengetahui dan memahami asba>b
al-nuzu>l. Di
antara ulama yang berpendapat seperti itu adalah:
1. Ibnu al-Daqiq (w. 702 H)
Ibnu al-Daqiq menyatakan
bahwa mengetahui asba>b al-nuzu>l ayat merupakan
metode yang utama dalam memahami pesan yang terkandung dalam Alquran.
Ibnu Taimiyah menyatakan
bahwa mengetahui asba>b al-nuzu>l akan membantu
dalam memahami ayat Alquran, karena mengetahui sebab berarti juga mengetahui musabab.
3. Al-Wa>h}idi> (w. 427 H)
Al-Wa>h}idi> menyatakan
sebagaimana dikutip oleh al-Suyu>t}i> bahwa tidak
mungkin seseorang dapat menafsirkan suatu ayat tanpa mengetahui sejarah
turunnya dan latar belakang masalahnya.
4. Abu> Fath} al-Qushairi>
Abu> Fath} al-Qushairi> menyatakan
bahwa penjelasan tentang asba>b
al-nuzu>l
adalah merupakan metode yang sangat kuat dalam memahami makna-makna kitab Allah
SWT., yang Maha Agung.[45]
5. Ah}mad Ami>n
Ah}mad Ami>n menyimpulkan
bahwa pengetahuan tentang asba>b
al-nuzu>l
merupakan salah satu pertolongan besar dalam memahami maksud suatu ayat, dan
ketidaktahuan seseorang terhadap asba>b
al-nuzu>l
niscaya akan menjerumuskannya ke dalam kesalahan.[46]
Terlepas dari
pendapat itu semua, memang ada ayat-ayat yang tidak dapat dipahami tanpa
mengetahui asba>b al-nuzu>l. Misalnya
surah al-Baqarah ayat 62 dan
surah al-Ma>idah ayat 93 yang
berbunyi,
¨bÎ) tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä úïÏ%©!$#ur (#rß$yd 3t»|Á¨Z9$#ur úüÏ«Î7»¢Á9$#ur ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# @ÏJtãur $[sÎ=»|¹ öNßgn=sù öNèdãô_r& yYÏã óOÎgÎn/u wur ì$öqyz öNÍkön=tæ wur öNèd .cqçRtøts
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang
Nasrani dan orang-orang S{a>bii>n, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah
SWT., hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan
mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih
hati”.
Selanjutnya
secara rinci pula al-Zarqa>ni> menyebutkan
ada 7 macam fungsi mengetahui asba>b
al-nuzu>l
yaitu,
1. Dapat
mengetahui rahasia dan tujuan secara khusus mensyariatkan agama-Nya lewat
Alquran dan perhatian syara’ terhadap kepentingan umum, tanpa membedakan etnik,
jenis kelamin, dan agama. Jika dianalisis secara cermat, proses penetapan hukum
berlangsung secara manusiawi, seperti penghapusan minuman keras, misalnya
ayat-ayat Alquran turun dalam empat kali tahapan, yaitu Q.S. al-Nahl: 67, Q.S. al-Baqarah: 219, Q.S. al-Nisa>’: 43, dan Q.S. al-Ma>idah: 91.[47]
2.
Dapat membantu seseorang dalam
memahami ayat dan menghindarkan kesulitan. Misalnya dalam memahami firman Allah
SWT.,
¬!ur ä-Ìô±pRùQ$# Ü>ÌøópRùQ$#ur 4 $yJuZ÷r'sù (#q9uqè? §NsVsù çmô_ur «!$# 4 cÎ) ©!$# ììźur ÒOÎ=tæ
“Dan kepunyaan Allah SWT., lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu
menghadap di situlah wajah Allah SWT. Sesungguhnya Allah SWT., Maha Luas
(rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui”.[48]
Lafaz ayat
tersebut secara ekspelisit menunjukkan bahwa bolehnya seseorang melaksanakan
salat menghadap ke arah mana saja yang diinginkannya dan tidak ada kemutlakan
(wajib) menghadap ke arah kiblat (Masjidil Haram), baik bagi musafir maupun
muqimin (menetap di tempat). Akan tetapi, jika seseorang itu mengetahui bahwa
ayat itu turunnya khusus pada salat sunah safar (dalam perjalanan), atau orang
yang salat dengan ijtihadnya dan kemudian ternyata arah kiblat hasil ijtihadnya
itu tidak tepat sebagaimana mestinya, maka dia akan memahami bahwa ayat
tersebut memberikan kemudahan dan keringanan kepada musafir pada salat sunah
atau orang yang salah arah kiblatnya di waktu salat dan diketahui setelah salat
selesai.[49]
3.
Dapat menolak dugaan adanya
pembatasan (الحصر) dalam ayat yang menurut
zahirnya mengandung pembatasan. Misalnya firman Allah SWT., yang terdapat dalam
Alquran,
@è% Hw ßÉ`r& Îû !$tB zÓÇrré& ¥n<Î) $·B§ptèC 4n?tã 5OÏã$sÛ ÿ¼çmßJyèôÜt HwÎ) br& cqä3t ºptGøtB ÷rr& $YBy %·nqàÿó¡¨B ÷rr& zNóss9 9Í\Åz ¼çm¯RÎ*sù ê[ô_Í ÷rr& $¸)ó¡Ïù ¨@Ïdé& ÎötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/
“Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali
kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena
sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain
Allah SWT”.[50]
Imam Sha>fi’i> menyatakan
bahwa has}r pada ayat
tersebut bukanlah termasuk yang dimaksud dalam ayat itu sendiri. Untuk menolak
dugaan adanya has}r dalam ayat ini
Imam Sha>fi’i> mengemukakan alasan bahwa sebab turunnya ayat ini sehubungan
dengan sikap orang-orang kafir yang tidak suka mengharamkan kecuali apa yang
dihalalkan oleh Allah SWT., dan menghalalkan apa yang diharamkan-Nya. Hal
tersebut mereka lakukan karena pembangkangannya kepada Allah SWT., dan
Rasul-Nya. Sebab itulah ayat tersebut turun dalam bentuk pembatasan formal
sebagai penekanan dan penentangan yang keras dari Allah SWT., dan Rasul-Nya
terhadap mereka, dan bukan maksud dari hakikat has}r.[51]
Imam
al-Haramain berkata, “[U]slub ayat tersebut sangat indah, kalau
saja Imam Sha>fi’i> tidak mengatakan pendapat demikian, niscaya kami tidak dapat
menarik kesimpulan perbedaan Imam Ma>lik dalam hal has}r (batasan
hal yang diharamkan), seperti disebut dalam ayat di atas”.[52]
Berkaitan
dengan hal ini al-S}a>buni> memberi
penjelasan dari uraian ayat di atas, bahwa zahir ayat menunjukkan batasan yang
haram, yaitu bahwa yang haram hanya yang tersebut dalam ayat di atas. Padahal
persoalannya tidak demikian, karena di samping yang tersebut pada ayat di atas,
masih ada lagi yang lain. Hanya saja, pengungkapannya berbentuk has}r, sedangkan maknanya tidak demikian, yaitu sebagai bantahan
terhadap orang-orang musyrik yang mengharamkan sesuatu yang sebenarnya
dihalalkan Allah SWT., dan menghalalkan yang sebenarnya diharamkan Allah SWT.[53]
4.
Dapat mengkhususkan (تخصيص) hukum pada sebab. Hal
ini terbatas pada ulama yang menyandang bahwa yang harus diperhatikan adalah
kekhususan sebab dan keumuman lafaz. Pendapat ini berpegang pada kaidah,
الْعِبْرَةُ بِخُصُوصِ السَّبَبِ لاَ
بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ.
Dapat mengetahui bahwa sebab turunnya ayat tidak keluar dari hukum
yang terkandung dalam ayat tersebut, walaupun datang mukhas}s}i>s}nya (yang mengkhususnya). Hal ini didasari oleh ijma’ yang
menyatakan bahwa hukum sebab tetap selama-lamanya. Dengan demikian, takhs}i>s} (pengkhususan) terbatas pada masalah
yang diluar sebab. Misalnya firman Allah SWT.,
¨bÎ) tûïÏ%©!$# cqãBöt ÏM»uZ|ÁósãKø9$# ÏM»n=Ïÿ»tóø9$# ÏM»oYÏB÷sßJø9$# (#qãZÏèä9 Îû $u÷R9$# ÍotÅzFy$#ur öNçlm;ur ë>#xtã ×.LìÏàtã tPöqt ßpkô¶s? öNÍkön=tã öNßgçFt^Å¡ø9r& öNÍkÏ÷r&ur Nßgè=ã_ör&ur $yJÎ/ (#qçR%x. t.bqè=yJ÷èt 7ͳtBöqt ãNÍkÏjùuqã ª!$# ãNßgoYÏ ¨,ysø9$# tbqßJn=÷ètur ¨br& ©!$# uqèd ,ysø9$# ß.ûüÎ7ßJø9$#
“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang
lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la'nat di dunia dan akhirat,
dan bagi mereka azab yang besar. Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki
mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Di
hari itu, Allah SWT., akan memberi mereka Balasan yag setimpal menurut
semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah SWT-lah yang benar, lagi yang
menjelaskan (segala sesutatu menurut hakikat yang sebenarnya)”.[54]
Menurut riwayat
Ibnu ‘Abba>s bahwa ayat
tersebut secara khusus turun pada ‘A<ishah atau pada seluruh istri Nabi SAW.
Intisari dari turunnya ayat tersebut adalah bahwa Allah SWT., tidak mengampuni
dosa orang-orang yang menuduh ‘A<ishah dan istri-istri Nabi SAW., lainnya
berbuat hal-hal yang tidak terpuji. Akan tetapi, Allah SWT., akan menerima
taubat orang-orang yang menuduh perempuan berbuat tidak terpuji selain dari
para istri Nabi SAW.
5.
Dapat mengetahui ayat-ayat tertentu
yang turun padanya secara tepat sehingga tidak terjadi kesamaran. Misalnya ‘A<ishah dapat menolak
tuduhan Marwa>n terhadap
saudaranya, ‘Abd al-Rah}ma>n bin Abu>
Bakar.
Dakwaan Marwa>n adalah bahwa
ayat 17 dari surah al-Ah}qa>f turun pada
masalah ‘Abd al-Rah}ma>n bin Abu>
Bakar,
ayat tersebut berbunyi,
Ï%©!$#ur tA$s% Ïm÷t$Î!ºuqÏ9 7e$é& !$yJä3©9 ûÓÍ_ÏR#yÏès?r& ÷br& ylt÷zé& ôs%ur ÏMn=yz ãbrãà)ø9$# `ÏB Î=ö7s% $yJèdur Èb$sWÉótGó¡o ©!$# y7n=÷ur ô`ÏB#uä ¨bÎ) yôãur «!$# A,ym ãAqà)usù $tB !#x»yd HwÎ) çÏÜ»yr& .tûüÏ9¨rF{$#
“Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: "Cis
bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan
dibangkitkan, padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku, lalu kedua
ibu bapaknya itu memohon pertolongan kepada Allah SWT., seraya mengatakan:
"Celaka kamu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allah SWT., adalah
benar". lalu Dia berkata: "Ini tidak lain hanyalah dongengan
orang-orang dahulu belaka”.
‘A<ishah berkata, “Demi Allah SWT., yang dimaksud ayat tersebut bukanlah ‘Abd al-Rah}ma>n bin Abu> Bakar, dan jika aku
mau menyebutkannya aku dapat menyebutkan namanya”.[55]
Dapat
mempermudah orang-orang yang menghafal ayat-ayat Alquran serta memperkuat
keberadaan wahyu Allah SWT., dalam ingatan seseorang yang mendengarnya jika yang
mendengarnya itu mengetahui sebab turunnya ayat. Alasannya adalah pertalian
antara sebab dan akibat, hukum dan peristiwanya, peristiwa dan pelaku, masa dan
tempatnya, itu semua merupakan faktor-faktor yang menyebabkan mantapnya dan
terlukisnya sesuatu dalam ingatan.[56]
[2] Muhammad
Zainuddin, Metode Memahami Alquran (Bandung: Khazanah Intelektual,
2005), 50.
[3] Abu Anwar, Ulumul
Qur’an Sebuah Pengantar, 29.
[4] Muhammad
Zainuddin, Metode Memahami Alquran, 51.
[5] Ibid.,
51.
[6] Ibid.,
51.
[7] Ibid.,
51-52.
[8] Ibid.,
52.
[9] Nama
lengkapnya adalah Abi>
al-H{asan ‘Ali> ibn Ah}mad ibn Muh}ammad ibn ‘Ali> al-Wa>h}idi>. Beliau lahir
pada tahun antara 388-398, dan wafat pada bulan Jumadil Akhir tahun 468 H.
Lihat Abi>
al-Hasan ‘Ali> ibn Ah}mad ibn Muh}ammad ibn ‘Ali> al-Wa>h}idi>, Asba>b
al-Nuzu>l al-Qur’a>n, 13-15.
[10] Abu Anwar, ‘Ulumul
Qur’an Sebuah Pengantar, 29-30.
[11] Pendapat al-Suyu>t}i> tersebut juga
dikutip oleh Manna>’
al-Qat}t}a>n di dalam bukunya Pengantar Studi Ilmu Alquran, halaman 95.
[14] Q.S. ‘Ali Imra>n (3) : 100.
Lihat Lajnah Pentashih Mushaf Alquran Departemen Agama Republik Indonesia, Alquranul
Karim dan Terjemahan Edisi Keluarga, 62.
[15] Abu Anwar, Ulumul
Qur’an Sebuah Pengantar, 30.
[17] Ibid.,
128.
[18] Ibid.,
128.
[19] Hadis marfu>’ adalah
perkataan, perbuatan, dan taqrir yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.,
baik sanad hadis tersebut bersambung-sambung atau terputus, baik yang
menyandarkan hadis itu sahabat maupun lainnya. Lihat M. Agus Solahuddin dan
Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 155.
[20] Muhammad
Zainuddin, Metode Memahami Alquran, 56.
[22] M. Quraish Shihab,
Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui dalam
Memahami Ayat-Ayat Alquran, 238-239.
[24] Hadis mursal adalah hadis
yang dimarfu>’kan oleh
seorang ta>bi’iy kepada
Rasulullah SAW., baik berupa sabda, perbuatan, maupun taqrir, baik ta>bi’iy itu kecil atau
besar. M. ‘Ajaj al-Kha>t}ib, Ushul
al-Hadits: Pokok-Pokok Ilmu Hadis (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), 304.
[27] Ibid.,
177.
[28] Muhammad
Zainuddin, Metode Memahami Alquran, 57.
[30] Muhammad Zainuddin,
Metode Memahami Alquran, 67.
[31] Ibid.,
67.
[33] M. Quraish Shihab,
Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui dalam
Memahami Ayat-Ayat Alquran, 238.
[35] Muhammad Zainuddin,
Metode Memahami Alquran, 67.
[37] M. Quraish Shihab,
Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui dalam
Memahami Ayat-Ayat Alquran, 238.
[39] Ibid.,
106.
[40] Q.S. al-Nisa>’: 65. Lihat
Lajnah Pentashih Mushaf Alquran Departemen Agama Republik Indonesia, Alquranul
Karim dan Terjemahan Edisi Keluarga, 88.
[42] Ibid.,
107.
[44] Nama
lengkapnya Ah}mad
bin ‘Abdi al-H{alim bin ‘Abdi as-Salam bin ‘Abdillah bin al-Khadr bin Muh}ammad
bin al-Khadr bin ‘Ali> bin ‘Abdillah bin Taimiyah al-Namiri al-H{arrani>
al-Dimashqi> Abu> al-‘Abba>s Taqiyuddin. Lihat Ahmad
Farid, 60 Biografi Ulama Salaf (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), 783.
Lihat juga Ibnu Taimiyah, Tafsir Alquran (Pustaka Mantiq, ), 12.
[45] Muhammad Amin
Suma, Studi Ilmu-Ilmu Alquran, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), 110.
[46] Ibid.,
111.
[47] M. Quraish Shihab
et al., Sejarah dan ‘Ulum Alquran, 79-80.
[48] Q.S. al-Baqarah (2) : 115.
Lihat Lajnah Pentashih Mushaf Alquran Departemen Agama Republik Indonesia, Alquranul
Karim dan Terjemahan Edisi Keluarga, 18.
[49] Abu Anwar, ‘Ulumul
Qur’an Sebuah Pengantar, 37-38.
[50] Q.S. al-An’a>m (6) : 145.
Lihat Lajnah Pentashih Mushaf Alquran Departemen Agama Republik Indonesia, Alquranul
Karim dan Terjemahan Edisi Keluarga, 147.
[51] Abu Anwar, Ulumul
Qur’an Sebuah Pengantar, 39.
[53] Ibid.,
47.
[54] Q.S. al-Nu>r (24) : 23-25.
Lihat Lajnah Pentashih Mushaf Alquran Departemen Agama Republik Indonesia, Alquranul
Karim dan Terjemahan Edisi Keluarga, 352.
[56] Abu Anwar, Ulumul
Qur’an Sebuah Pengantar, 41.

Komentar
Posting Komentar